PPDB oh PPDB
Usai sudah masa penantian hasil PPDB ( Pendaftaran Peserta Didik Baru). Dua anak saya bisa masuk sekolah negeri di Kota Malang. Sejatinya, saya juga bukan negeri minded. Kalau ingin ke swasta ya gpp. Ke negeri ya gpp. Sebagai ortu, saya hanya menfasilitasi mereka.
Meski yang saya rasakan adalah pontang panting sendiri karena suami bekerja di luar kota. Anak-anak ingin mencoba sekolah negeri dengan nilai mereka. Ketika ada waktu luang, saya dan suami mengajaknya melihat SMPN di rayon yang ingin dipilihnya.
Jadi ia juga bisa melihat sekolah itu secara nyata. Ia juga bisa memperkirakan jauhnya dari rumah. Setelah itu ia bisa menyimpulkan sendiri. Ini cara paling fair daripada melarang di sekolah ini itu defan alasan jauh tapi anak tidak tahu dimana letak sekolahnya.
Kalau suami saya lebih senang anak-anak sekolah yang tak jauh dari rumah karena masih SMP. Ibu saya juga dulu begitu ketika saya diterima di sebuah SMPN yang agak jauh dari sekolah. Ibu menyekolahkan ke SMP dekat rumah. Saya tinggal jalan kaki saja. Ibu saya juga tidak khawatir karena SMP itu dekat tempat bude saya mengajar.
Jadi dia juga bisa mengawasi saya. Anak kedua saya juga akhirnya mau masuk ke SMPN dekat rumah. Kalau naik gojek Rp 3000 karena go pay. Dari rumah berjarak 1,7 km. Yang penting anaknya mau sekolah dulu. Jadi, saat pendaftaran jalur wilayah hari kedua, ia saya ajak ke sekolah itu. Ternyata dia juga bertemu teman2 SD-nya.
Pengumuman akhirnya muncul, Kamis (6/7/2017). Ia cuma bergeser dua kali sampai akhirnya final. Setelah itu saya langsung daftar ulang. Saat hati saya senang, saya juga melihat ibu-ibu yang sedih karena anak-anaknya tergeser rangkingnya. Kalau saya lihat di web saat itu , nilai ujian sekolahnya kecil meski sudah ditambah nilai rapor.
"Sekolah ndek ndi maneh, anakku? Apa sekolah swasta juga melihat nilainya karena di sini saja sudah tergeser," tutur ibu itu ketika saya melintas hendak melihat papan pengumuman. Hati saya rasanya teriris. "Kasihan ya. Ibu itu pasti bingung menyekolahkan anaknya dengan nilai ujian sekolah kecil," kataku pada Jasmine.
Belum lagi soal biaya masuk sekolah nanti. Karena saya juga ibu, saya tahu peningnya mengatur keuangan di keluarga. Beruntung kami sama-sama bekerja. Sehingga bisa ditanggung bersama. Nah, satu anak sudah klir sekolahnya.
Satu lagi waktu itu juga pening memikirkan peringkatnya di sebuah jurusan di SMKN. Maklum, usai mendaftar 3 Juli 2017, peringkatnya geser-geser terus. Saya sampai agak pesimis. Menunggu pengumuman 7 Juli 2017 terasa lama sekali. Sebab hari kedua dan ketiga juga geser terus. Sampai akhirnya bertahan di pèringkat 30 dan final.
Menunggu pengumuman pukul 00.30 WIB adalah rencana semula. Tapi alih-alih bangun, saya malah ketiduran. Jam 01.30 WIB, anak saya membangunkan tidur saya. "Bu, aku diterima. Peringkatnya gak geser," teriak Sasa. Alhamdullilah. Saya kemudian bangun. Ia cerita kalau pas tidur dibangunkan temannya lewat HP jika diterima di SMKN. "Senangnya. Kami bertiga ngumpul lagi satu sekolah," ungkap Sasa.
Sedang tiga teman mainnya di sekolah diterima di sekolah negeri yang berbeda. "Wih..enak e rek sing ngumpul sak sekolah," celetuk temannya. Pagi harinya setelah membereskan daftar ulang yang SMP, saya meluncur ke SMKN Sasa. Dia sudah sampai duluan dengan naik angkot. Saya menyusul naik gojek. Sampai di sekolah barunya, dia masih gemetaran karena bisa masuk ke sekolah negeri.
Saya pikir hanya daftar ulang biasa. Ternyata harus bayar SPP bulan Juli dan uang seragam dan ditransfer lewat rekening sekolah. Saya pun ke bank depan sekolah itu. Namun itu belum termasuk uang sumbangan pendidikan. Bahan seragam juga masih harus dijahitkan dulu. Kira-kira masih butuh Rp 500.000 lagi.
Kalau kira-kira hitungan saya nanti benar, masuk awal sekolah negeri dan swasta sama saja. Sedang uang transportnya tentu lebih besar daripada sekolah swasta yang dekat rumah. Tapi karena ia sudah semangat dengan dunia baru ini, saya hanya bilang oke saja. Saya hanya pesan agar ia lebih baik lagi. Dengan bersekolah agak jauh dari rumah, saya jadi ingat masa SMA dulu.
Karena sejak TK sampai SMP dekat rumah, saat masuk SMA, saya izin ibu saya bersekolah agak jauh. Jadi saya harus naik angkot ke sekolah. Namun pada praktiknya, saya lebih suka turun di JL Basuki Rahmad atau separuh jalan sekolah karena saya menjemput sahabat saya dulu.
Ia dari keluarga tidak mampu. Jadi kalau sekolah jalan kaki. Jadi, saya memilih menjemput di rumahnya agar jalan ke sekolah bersama biar ia semangat. Nah, saat lewat gang-gang kampung menuju sekolah saya, saya selalu melewati rumah-rumah teman saya. Akhirnya sampai sekolah bersama banyak teman. Itu masa indahnya di SMA. Sylvianita widyawati
Komentar
Posting Komentar