Mengunjungi Desa Teletabies di Prambanan Jogja
Saat ada
waktu liburan bersama dengan anak-anak seperti liburan Lebaran lalu, saya
selalu mencari info tempat-tempat yang bisa dikunjungi. Tujuannya agar
anak-anak mendapat pengalaman baru dan mendapat tambahan informasi. Saya yakin,
suatu hari perjalanan ke tempat itu akan diingat mereka dan berguna.
Beruntungnya kalau ingin bepergian, saya mendapat support dari adik ipar saya, Tri. Dia juga sedang libur kerja. Sehingga selalu senang bepergian bersama. Dengan mobilnya, biasanya ia membawa anak dan istrinya. Ya kita jadi bisa rekreasi bersama.
Dua hari sebelum pulang ke Malang, saya sudah ngobrol soal mengunjungi Desa Teletabies. Lokasinya di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman.
Lewatnya ya jalan Raya Jogja-Solo. Lumayan jauh. Tapi kata dia nggak papa karena sekalian saya check in ke Hotel Neo Malioboro Jogjakarta.
Sehari sebelum berangkat, saya browsing internet untuk mencari tahu jalan kesana. Anak-anak juga semangat kesana meski cuaca saat itu panas banget.
Untuk ke desa itu, banyak petunjuk arah. Dinamakan Desa Teletubies karena rumah-rumah warganya berbentuk domes seperti rumahnya teletubies, tokoh boneka di film TV. Yang saya lihat di internet, kondisi rumahnya masih bagus. Namun saat kesana pada 21 Juli 2015, sudah tidak sesuai bayangan.
Rumahnya sudah banyak yang retak dan kusam. Tapi karena sudah niat, anak-anak tetap semangat. “Oh .gini ya..Lucu ya nama gangnya,” celetuk anak-anak ketika melihat lokasi. Ada gang Tingki Wingki, Dipsi, Lala, Poo. Untuk pengunjung, diarahkan ke satu titik.
Kami melewati pintu masuk dengan tulisan...”Selamat Datang di New Ngelepen”. Begitu ada kendaraan masuk, ada petugas yang mengarahkan parkir dan kami diminta melapor ke sekretariat. Lokasi itu sudah dikelola sebagai objek wisata. Maka saya dan anak-anak masuk ke sekretariat itu. Ada petugas yang meminta kami mengisi buku tamu.
Beruntungnya kalau ingin bepergian, saya mendapat support dari adik ipar saya, Tri. Dia juga sedang libur kerja. Sehingga selalu senang bepergian bersama. Dengan mobilnya, biasanya ia membawa anak dan istrinya. Ya kita jadi bisa rekreasi bersama.
Anak-anak bermain boneka Teletabies |
Dua hari sebelum pulang ke Malang, saya sudah ngobrol soal mengunjungi Desa Teletabies. Lokasinya di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman.
Lewatnya ya jalan Raya Jogja-Solo. Lumayan jauh. Tapi kata dia nggak papa karena sekalian saya check in ke Hotel Neo Malioboro Jogjakarta.
Sehari sebelum berangkat, saya browsing internet untuk mencari tahu jalan kesana. Anak-anak juga semangat kesana meski cuaca saat itu panas banget.
Untuk ke desa itu, banyak petunjuk arah. Dinamakan Desa Teletubies karena rumah-rumah warganya berbentuk domes seperti rumahnya teletubies, tokoh boneka di film TV. Yang saya lihat di internet, kondisi rumahnya masih bagus. Namun saat kesana pada 21 Juli 2015, sudah tidak sesuai bayangan.
Rumahnya sudah banyak yang retak dan kusam. Tapi karena sudah niat, anak-anak tetap semangat. “Oh .gini ya..Lucu ya nama gangnya,” celetuk anak-anak ketika melihat lokasi. Ada gang Tingki Wingki, Dipsi, Lala, Poo. Untuk pengunjung, diarahkan ke satu titik.
Kami melewati pintu masuk dengan tulisan...”Selamat Datang di New Ngelepen”. Begitu ada kendaraan masuk, ada petugas yang mengarahkan parkir dan kami diminta melapor ke sekretariat. Lokasi itu sudah dikelola sebagai objek wisata. Maka saya dan anak-anak masuk ke sekretariat itu. Ada petugas yang meminta kami mengisi buku tamu.
Sasa sedang berpose dekat rumah Dome pakai sepeda pancal unik |
Setelah itu,
kami diminta membayar Rp 3000 per orang dan parkir Rp 5000. Ruang sekretariat
itu berada di satu rumah dome. Jadi kalau kami masuk kesitu, kami seperti
melihat rumah contoh.
Isinya ada dua kamar dan lantai dua dari kayu. Kawasan wisata ini sebenarnya sudah tak baru lagi.
Ketika ada tanah ambles pada 2006 di Dusun Ngelepen, untuk relokasi dibuatkan rumah domes bagi warga korban. Mereka kemudian menempati pada 2007. Makanya diberi nama New Ngelepen. Lokasi tanahnya di atas tanah kas desa. Sedang pembuatan rumah dome dari foundation luar negeri.
Saya baru ke tempat ini karena masalah waktu saja. Artinya, saya sudah punya kegiatan lain sehingga tidak sempat ke Desa Teletabis. Saya dan anak-anak melihat kondisi sekitar rumah contoh. Di satu kamar ada boneka-boneka teletubies yang mungkin akan dipakai pada kondisi tertentu. Anak-anak mencoba memakainya dan saya foto.
Di rumah contoh itu juga ada dapurnya. Setelah itu, kami melihat sekitar lokasi. Yang saya lihat saat itu, ada rumah yang sudah ditambahi bangunan meski rumah dome-nya masih asli. Penambahan ruang ada yang dilakukan di bagian belakang. Sehingga kalau dilihat jadi nggak enak.
Tapi yang merasakan kebutuhan ruang tambahan kan warga penghuni ya? Jadi saya hanya bisa membatin saja. Terus rumah-rumahnya juga sudah ada yang retak-retak. “Gimana ya, Bu, kalau hujan? Airnya pasti merembes ke dalam rumah,” tanya anak-anak. Saya jawab bisa jadi.Setelah melihat rumah domes, anak-anak mengajak mainan. Ada yang naik sepeda unik.
Dikatakan unik karena ban depannya gede. Saya coba bentar, tapi agak susah, ha..ha. Anak-anak yang cepat bisa. Semangat sekali meski panas. Usai bermain, kami sholat duhur di mushola setempat. Musholanya juga berbentuk dome. Tapi agak luas. Setelah itu, ayahnya mengajak anak-anak makan. Tapi mereka kurang menyukai menu yang ada. Mereka hanya tergoda minuman karena panas.
Sedang saya, ikut ajakan suami makan pecel campur mie. “Aneh ya?” komentar saya pada suami saya. Tapi katanya uniknya disitu. Seporsi Rp 2000. Murah banget. Kami makan di warung milik warga penghuni rumah domes depan masjid. Enak sebenarnya, tapi saya kurang suka pedasnya. (sylvianita widyawati)
Isinya ada dua kamar dan lantai dua dari kayu. Kawasan wisata ini sebenarnya sudah tak baru lagi.
Ketika ada tanah ambles pada 2006 di Dusun Ngelepen, untuk relokasi dibuatkan rumah domes bagi warga korban. Mereka kemudian menempati pada 2007. Makanya diberi nama New Ngelepen. Lokasi tanahnya di atas tanah kas desa. Sedang pembuatan rumah dome dari foundation luar negeri.
Saya baru ke tempat ini karena masalah waktu saja. Artinya, saya sudah punya kegiatan lain sehingga tidak sempat ke Desa Teletabis. Saya dan anak-anak melihat kondisi sekitar rumah contoh. Di satu kamar ada boneka-boneka teletubies yang mungkin akan dipakai pada kondisi tertentu. Anak-anak mencoba memakainya dan saya foto.
Di rumah contoh itu juga ada dapurnya. Setelah itu, kami melihat sekitar lokasi. Yang saya lihat saat itu, ada rumah yang sudah ditambahi bangunan meski rumah dome-nya masih asli. Penambahan ruang ada yang dilakukan di bagian belakang. Sehingga kalau dilihat jadi nggak enak.
Tapi yang merasakan kebutuhan ruang tambahan kan warga penghuni ya? Jadi saya hanya bisa membatin saja. Terus rumah-rumahnya juga sudah ada yang retak-retak. “Gimana ya, Bu, kalau hujan? Airnya pasti merembes ke dalam rumah,” tanya anak-anak. Saya jawab bisa jadi.Setelah melihat rumah domes, anak-anak mengajak mainan. Ada yang naik sepeda unik.
Dikatakan unik karena ban depannya gede. Saya coba bentar, tapi agak susah, ha..ha. Anak-anak yang cepat bisa. Semangat sekali meski panas. Usai bermain, kami sholat duhur di mushola setempat. Musholanya juga berbentuk dome. Tapi agak luas. Setelah itu, ayahnya mengajak anak-anak makan. Tapi mereka kurang menyukai menu yang ada. Mereka hanya tergoda minuman karena panas.
Sedang saya, ikut ajakan suami makan pecel campur mie. “Aneh ya?” komentar saya pada suami saya. Tapi katanya uniknya disitu. Seporsi Rp 2000. Murah banget. Kami makan di warung milik warga penghuni rumah domes depan masjid. Enak sebenarnya, tapi saya kurang suka pedasnya. (sylvianita widyawati)
Komentar
Posting Komentar