De Klompen
Klompen adalah alas kaki dari kayu. Kisah pencarian klompen dimulai pada Selasa malam (12/9/2017). Jasmine, anak kedua saya tiba-tiba bilang jika ia dapat tugas mencari klompen buat prakarya besok. Sambil mengerjakan tugas lain, saya bingung juga harus mencari kemana.
"Lha...tuku nangdi wis bengi ngene? Kok gak pas sore tadi atau pulang sekolah kamu nyarinya," tanyaku ke Jasmine. Dia beralasan lupa. Pulang sekolah sekitar 15.30 WIB tadi, dia langsung makan. Kemudian istirahat dan membuka laptop saya. Setelah agak malam baru ingat tugasnya.
Akhirnya, kami mencari ke kampung sebelah. Ketemu toko yang antara lain menjual klompen. Tapi kondisinya sudah jelek. Saya memutuskan tidak beli karena sudah sudah tidak sepasang. Gak layak jualah. Akhirnya diberitahu oleh seseorang di dekat toko itu. Saya disarankan mencari di toko lain.
Tokonya ada, tapi tutup. Kemudian jalan lagi, gak ketemu. Akhirnya saya malah kepingin beli sate. Eh..pas duduk nunggu sate dipanggang, ternyata ada toko peralatan rumah tangga dari plastik. Kata penjual satenya disuruh mencoba karena tokonya lengkap. Eh..bener ada. Saya membeli sepasang klompen Rp 10.000.
Zaman sekarang, klompen sudah agak jarang dipakai buat alas kaki. Tapi jadi media melukis. Begitu juga untuk tugas anak saya ini. Ia sudah membeli cat kayu. "Tema lukisnya soal hobi," kata Jasmine. Ia menyatakan akan melukis hobi renangnya. Karena itu ia sudah membeli cat biru. Cat merah mungkin untuk gambar orang berenang.
Saya hanya minta ia melukis yang bagus karena perjuangan mendapatkan klompen, hehhehe. "Nanti aku buat hiasan," janjiku. Saya juga gak ingat kapan menggunakan klompen terakhir kali. Sebab ke kamar mandi selalu telanjang kaki karena sudah bersih. Tapi dulu, zaman di rumah nenek saya, ya dipakai klompen itu jika wudhu atau ke kamar mandi.
Maka, saya potret aja wajah ori klompen ini. Sebab bisa saja akan jadi barang langka. Kalau generasi tua perajinnya habis, maka habislah kisah klompen. Karena klompen perajin muda sudah beda lagi. Andai tulisan ini dibaca bertahun-tahun kemudian bagi generasi mendatang, setidaknya foto ini bisa jadi literasi wajah klompen. Salam. Sylvianita widyawati
Komentar
Posting Komentar