Ke Museum Gunung Merapi

Tadi siang, Kamis (29/6/2017), jalan-jalan bersama keponakan dan adik ipar. Awalnya pingin beli jadah, tahu tempe bacem di kawasan Kaliurang. Namun sebelum itu, kami ke Dusen Pulesari, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Suami saya ingin ketemu teman SMP nya sebentar.

Setelah pertemuan itu, kami jalan-jalan lagi. Mobil malah mengarah ke Museum Gunung Merapi (MGM) di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Kami pernah ke sini dulu beberapa tahun lalu saat anak-anak masih agak kecil. Ketika datang ke sini lagi, menurut saya suasananya sangat hidup.

Banyak wisatawan kesana. Di samping pintu masuk ada band lagu nostalgia. Kami kemudian membeli tiket masuk harga Rp 5000 per orang. Di dalam museum, sudah banyak yang datang. Hampir setiap sudut ada pengunjungnya. Termasuk saat sudut Merapi meletus pada 2010.

Di sudut iti ada contoh rumah yangvkena debu gunung, kursi meja dan peralatan dll.  Kalau ke tempat ini, saking asyiknya, kita jadi mendapat banyak informasi mengenai gunung berapi. Terserah nanti infonya yang nyantol mana. Tapi dengan membawa anak-anak justru malah jadi seru. Mereka jadi pingin tahu lebih banyak.

Rahma, anak saya juga bertanya tentang benda-benda yang kena debu Gunung Merapi itu darimana? Saya jawab saja mungkin dari rumah penduduk yang kena dan diberikan ke museum. Ketika melihat benda-benda yang kena debu tebal itu, rasanya kita merasa makin bersyukur karena tidak merasakan penderitaan itu.

Apalagi jika rumah kita jauh dari ancaman bahaya gunung berapi. Yang agak baru di museum ini ternyata ada sebuah taman yang ditata seperti ada gunung berapi dan dataran. Pengunjung di lokasi itu bisa merasakan goncangan gempa buatan. Awalnya saya kepo ketika melintasi kaca bening di dekat taman itu.

"Lho..kok bergetar-getar ya mereka? Apa kayak model simulasi gempa?" pikir saya. Karena itu, saya menanyakan kepada penjaga pintu menuju taman itu. Saya menanyakan apakah harus bayar lagi jika ingin merasakan gempa. Ternyata tidak ada pembayaran lagi. Cuman, kami harus antre karena masuk bergantian.

Setiap kali masuk, maksimal 10 orang agar bisa merasakan goncangan gempanya. Wah..bener. Rasanya tergoncang, hehehe. Terasa banget. Mungkin karena tahu itu buatan ya. Reaksinya adalah bisa ketawa-ketawa, berfoto mengabadikan momen itu. Coba kalau beneran terjadi. Saat kita tidur dan merasakan gempa aja sudah deg-degan ya. Sylvianita widyawati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini