Supadi, Peduli Sampah Mulai Tingkat RT Hingga Dilirik Timor Leste
Tumpukan sampah di TPST Mulyoagung Dau di Zona I yang belum dipilah |
Pria kelahiran Sleman, Jogjakarta pada 26 Februari 1965 ini menggeluti masalah sampah bertahun-tahun lamanya. Tepatnya sejak 1983.
"Di tingkat RT saja selama 25 tahun," ujarnya kepada Surya Online pekan ini. Namun sebagai pengelola TPST sekitar 2,5 tahun terakhir.
Hebatnya, TPST ini sering dikunjungi para tamu dari berbagai daerah yang ingin berguru masalah pengelolaan sampah. Hingga minggu lalu, sudah ada 313 kota/kabupaten yang mengunjungi TPST itu. Sebab di TPST ini, semua yang berasal dari sampah bisa menghasilkan uang kembali.
Kini, negara Timor Leste juga menginginkan ia untuk membantu pengelolaan sampah di sana. Tapi masih belum dijawabnya tawaran itu. Sehari-harinya, Supadi adalah staf di Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang. Awal adanya TPST ini ketika warga desa ini membuang sampah di tanah desa di belakang Stadion Sengkaling.
Itu berlangsung selama 20 tahun sehingga memberi pengaruh ke aliran DAS Brantas. Akhirnya dimulailah pembangunan TPST itu dengan memakai tanah kas desa. "Seluruh pengurus KSM yang berjumlah 94 orang tidak mendapat gaji. Yang menerima honor adalah pegawainya," kata pria yang berdomisili di Dusun Jetis, Desa Mulyoagung ini.
Jumlah pegawai TPST ada 65 orang. Mereka mendapat upah mulai Rp 800.000 hingga Rp 1.250.000. Dari volume sampah sebanyak 45 meter kubik pada hari biasa dan 55 meter kubik tiap Senin, TPST bisa menghasilkan uang Rp 60 juta. Itu diperoleh dari iuaran warga mulai Rp 5000 hingga Rp 12.000 per bulan.
Selain itu dari penjualan hasil sampah, seperti limbah nasi yang mendapat Rp 3,5 juta per bulan dan dibeli peternak, pupuk organik, beling/kaca, kertas dll. Bagaimana itu menghasilkan uang, caranya dengan memilih sampah-sampah yang datang sejak di zona 1. Sehingga hanya sekitar 15 persen dari limbah sampah yang kemudian dibawa ke TPA Talangagung, Kepanjen.
Ia berkisah, pernah ada seorang wanita kehilangan satu sepatunya. Ia kemudian berpesan kalau ditemukan pasangan sepatunya, ia akan senang. "Ternyata, satu sepatunya ditemukan. Saking senangnya, ia malah ngasih uang Rp 1 juta," tutur Supadi. Padahal kondisi sepatunya sudah tidak terlalu baik.
Uang itu dimasukkan ke kas TPST. Begitu juga dengan barang-barang yang bercampur di sampah, seperti HP dan sendok. Kejujuran pegawai ditentukan sendiri. Ternyata seluruh barang itu dikumpulkan pegawainya. "Ada rekanan yang membelinya ," katanya. HP-HP lawas dari berbagai merek itu dihargai rekanan TPST sesuai kondisinya.
Uangnya juga masuk kas TPST dan akan dikembalikan lagi kepada pegawainya. Dalam satu bulan terakhir telah ditemukan 200 HP dan sendok makan mencapai 3000 biji! "Wah, saya juga gak paham kenapa banyak sendok dibuang, ha.ha," ujarnya. Setelah dibersihkan, sendok disimpan.
Ternyata ada saja pembelinya. Setiap 10 biji sendok bekas dijual Rp 4000. Cakupan wilayah TPST ini selain desa-desa sekitar Kecamatan Dau, juga ke Kota Batu dan Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang. Dari pendapatan Rp 60 juta sebulan, biaya operasionalnya mencapai Rp 57 juta. Sehingga setiap bulannya ada sisa saldo antara Rp 200.000-Rp 300.000.
Meski ingin meluaskan cakupan wilayah pengelolaan sampah, tapi masih terhadang lahan penampung sampah yang datang. "Sehingga hanggarnya harus diperluas lagi, terutama di zona 1," ungkapnya. Karena sampah tiap hari datang, pegawainya tidak pernah libur. Sylvianita widyawati
Komentar
Posting Komentar