Langsung ke konten utama

Hari Raya Karo Oleh Warga Tengger Ngadas

Pemandangan di depan rumah Kades Ngadas
Baru pertama kali ini saya mengikuti kegiatan Hari Raya Karo di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.

Kegiatan itu dilaksanakan pada 9 Oktober 2012. Saat datang ke sana bersama teman-teman wartawan dari berbagai media.

Kami membawa motor. Biasanya di kawasan itu dingin dan segar. Namun saat itu sedang terik. Saya melihat lereng-lereng juga tidak ada tanaman sayur.

Jadi terkesan gersang. Titik tujuan saya ke lokasi pemakaman desa yang berada di pinggir jalan utama. Di pemakaman, sudah banyak sesaji makanan. Mungkin kegiatan ziarah kubur sudah dilakukan warga sebelumnya.

Beberapa pedagang makanan dan minuman sudah di sekitar pemakaman. Karena belum mulai, saya bersama teman saya, Poy, jalan-jalan ke arah kantor Desa Ngadas yang berada beberapa meter dari pemakaman itu. Tapi kantornya tutup. Saya pikir, saya bisa menemui Pak Kartono, kepala desa.

Setelah itu saya turun ke jalan utama di dusun itu mencari warga yang mungkin bisa menceritakan soal Hari Raya Karo itu. Saya kemudian bertemu dengan Pak Ponadi. Orangnya santun. ia mengajak kami berkunjung ke rumahnya. "Nanti saya ceritakan tentang adat desa ini," tutur dia,

Saya dam teman saya, Poy, sedang dijamu pak Ponadi
Menurut dia, bercerita di rumahnya akan lebih enak. Kami antusias. Rumahnya berada di belakang sebuah rumah. Menurut saya agak gelap. Ia lalu menyalakan lampu.

Di dapur istrinya sedang memasak dengan kayu bakar. Saya dan teman saya duduk di ruang tamu. Di meja sudah ada sejumlah makanan ringan. Kami disuguhi teh hangat. Hmmmm..ini kesukaanku. Air teh...!!!!!!

Menurut bapak ini, kalau warga sedang merayakan Hari Raya Karo, seperti Lebaran.
Semua rumah, menyiapkan kue. Menurut saya, itu simbol keterbukaan menerima tamu dan persahabatan.

Saya jadi ingat mengapa saat saya jalan-jalan dan melintasi rumah warga, mereka menyapa kami untuk mampir. Ya begitulah. Di rumah pak Ponadi, saya dipersilahkan makan pagi  Waduh. Pukul 10.00 WIB, saya sudah sarapan kedua. Di rumah, saya sudah sarapan sebelum berangkat ke Ngadas. Tapi nggak enak kalau ditolak, ya.

Akhirnya, kami makan pagi nongkrong di dapur Pak Ponadi yang berbau asap. Sambil makan, dia menanyakan beberapa hal tentang kami. Sampai menjelang pukul 11.00 WIB, kami beranjak keluar dari rumahnya menuju pemakaman umum yang jaraknya beberapa meter dari rumah Pak Ponadi.

Warga Desa Ngadas usai nyadran melakukan makan bersama di makam
Suwati bersama anak, menantu dan cucu. Ia mendatangi makam desa sekitar pukul 09.00 WIB. Saat itu, suasana makam masih sepi.
Sekitar pukul 11.00 WIB, warga seperti serentak bersama keluar dari rumah mereka menuju makam. Ramai sekali. Warga pendatang juga banyak. Mereka hanya menonton di sekitar makam. Mereka membawa rantang makanan untuk disantap sendiri bersama anggota keluarga yang diajak ke makam itu.

Kegiatan nyadran itu yaitu mengunjungi makam dan berdoa. Usai itu, rantang-ranang makanan itu dibuka dan disantap mereka. Isinya beragam..Ada nasi, lauk pauk, makanan ringan dan buah-buahan. Makanan itu disantap setelah dukun adat berdoa di acara itu,

Itu merupakan bagian dari puncak  Hari Raya Karo yang diisi dengan dengan kegiatan nyandran atau ziarah ke makam keluarga mereka.  Ada yang berangkat bersama-sama, ada yang berangkat sendirian dengan anggota keluarga sebelum acara utama berlangsung.

Wanita asli Ngadas itu selain membawa bunga saat ke makam serta membawa rantang. Isinya nasi dan lauk pauk serta makanan ringan pastel. "Biasanya, kalau nyadran saat Hari Raya Karo memang begini. Datang ke makam dan meninggalkan makanan," jelas wanita berusia 80 tahun ini.

Ia mengunjungi lima makam, ayah ibunya dan kakak-kakanya. Saat mengikuti nyadran, warga membawa tikar atau alas plastik untuk dijadikan tempat duduk di kuburan itu. Ponadi, salah satu warga Dusun Ngadas menyatakan diadakan kegiatan tasyakuran sekaligus berkunjung ke makam itu ada maknanya.

"Bahwa yang hidup sekarang, suatu hari nanti juga akan mati dan dikubur seperti itu," jelas Ponadi ditemui di rumahnya.Menurutnya, acara adat itu tak mengenal perbedaan agama. "Ini acara adat desa. Jadi yang beragama Islam, Hindu, Budha, ya sama-sama datang mengikuti acara ini," tutur Ponadi.

Meski warga sudah berkumpul di pemakaman desa sejak pukul 11.00 WIB, acara dimulai sekitar pukul 12.30 WIB. Usai makan, warga kemudian meninggalkan lokasi makam. Setelah itu ada atraksi tambahan seperti ojung, sejenis permainan sabetan memakai rotan. Hii, ngeri saya.

Ada pemain yang kena sabet dan menyayat punggungnya. Saya pilih duduk di teras rumah pak kades dan mengamati dari jauh saja permainan itu. Para pemuda nampaknya meminatinya. Penontonnya kebanyakannya memang anak muda. Hari sudah mulai sore. Pukul 14.30 WIB, saya dan teman-teman meninggalkan desa itu menuju Kota Malang. sylvianita widyawati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini