Orangtua Bekerja dan Dilemanya

Bagi yang tidak memiliki pembantu atau nenek yang tinggal serumah menjadi permasalahan sendiri ketika memiliki anak. Ini terutama terjadi ketika ayah ibu sama-sama bekerja. Dan tidak mudah mempercayakan ke orang lain untuk menunggu anak kita selama kita bekerja. Barangkali itu yang bisa saya rasakan ketika ada wacana full day school dari Mendikbud baru-baru ini. Saya masih beruntung memiliki seorang ibu. Sehingga ketika saya bekerja, anak pulang sekolah ke rumah neneknya dan ada yang menemaninya.

Ibu dan saya satu komplek perumahan, namun beda blok. Konsep 'menitipkan' sebenarnya sangat terpaksa. Karena sebenarnya saya ingin anak-anak pulang ke rumah usai mereka pulang sekolah agar tidak meribetkan ibu saya. Namun saya tidak tega anak-anak tinggal sendiri di rumah tanpa pengawasan. Sementara anak-anak juga takut karena tidak ada orang dewasa yang mengawasi. Sehingga diambil kesepakatan, semua saat pulang sekolah ke rumah ibu. Saya pulang kerja juga ke rumah ibu. Setelah semua beres, baru saya kembali ke rumah saya. Begitu sehari-harinya sejak saya memiliki anak beberapa tahun lalu.

Bersama si sulung Sasa
Anak-anak akhirnya terbiasa. Teman-teman anak saya juga terbiasa dengan kondisi itu. Maksudnya, jika mereka saat mencari anak saya tidak ditemui di rumah saya, mereka langsung ke rumah ibu saya.

Pernah saya merasakan beratnya menjadi ibu bekerja ketika si bungsu Rahma tidak mau saya tinggal bersekolah. ini berbeda dengan dua kakaknya yang mandiri. Jadi, saya harus berada di kelas mengikuti dia belajar.

Itu terjadi ketika dia masuk KB (Kelompok Bermain) sampai TK. Jadi, sejak pagi, saya sudah harus ribet dengan urusan domestik. Setelah itu segera mandi untuk mengantar anak sekolah.

Di sekolah, saya harus menunggui dia sampai selesai. Waktu di KB, sekolahnya seminggu tiga kali. Masuk jam 08.00-10.00 WIB. Untung saya pekerja lapangan sehingga waktu bisa diatur. Namun ada saat tertentu sulit mengatur waktunya karena saya harus pergi bekerja. Sehingga saya harus 'merayu' Rahma agar saya diizinkan mengantar saja. Sedang saat pulang dijemput embahnya dengan becak. Kondisi itu terjadi sampai TK. Akibatnya, ia sulit bersosialisasi dengan teman-temannya karena selalu ada saya. Gurupun sempat beranggapan anak saya 'sulit'. Namun saya menyakinkan itu bukan karakter anak saya.

Sasa dan Rahma
Setelah itu, saat TK B, ia mulai bisa ditinggal. Saat berangkat ke sekolah tetap saya antar. Namun pulangnya dijemput becak langganannya. Saat kelas 1 SD juga sempat saya tunggui sebentar. namun sekarang sudah tidak lagi.

Perkembangannya sudah luar biasa. Sudah mampu bersosialisasi karena sebenarnya anak saya prigel. Cuma dia perlu waktu untuk merasa nyaman. Dengan begitu, ketika saya bekerja, saya tenang melepasnya. 

Namun hal krusial lainnya adalah jika saya pulang ke rumah namun masih mengerjakan tugas kantor saya. Anak-anak sudah antre bercerita mengenai PR dll. Jika ada penugasan membawa sesuatu, biasanya mereka menelpon saya. Sehingga saya sekalian mencarikan bahan tugas sebelum pulang ke rumah. Akhirnya, dengan makin dewasa anak-anak, saya sudah bisa minta tolong kakaknya membantu si bungsu. Namun tetap saya koreksi lagi. 

Sementara untuk kakaknya, saya tetap membantunya. Kadang saya sambil mengirim berita, mereka bertanya sesuatu untuk PR-nya. Saya kira, saya dan anak-anak sama-sama berat menjalaninya karena kondisinya tidak ideal. Namun berusaha dilalui saja karena jalannya memang seperti ini. Terima kasih buat ibu saya dan anak-anak saya yang super pengertian. Kalau saya masih bisa bekerja sampai saat ini, itu berkat ibu saya yang mau menjaga anak-anak saya. sylvianita widyawati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini