Sumber Maron Dulu Diapriori, Kini Berprestasi
Sumber Maron, Kec Pagelaran, Kab Malang |
“Sebelum ada program WSLIC (Water Sanitation Low Income Communeties) yang didanai Bank Dunia lewat Departemen Kesehatan pada waktu itu, Masyarakat di sini menggunakan memakai air irigasi sungai,” jelas Sayyid Muhammad, Ketua Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi Sumber Maron
Tak heran, penyakit kulit dan diare cukup banyak penderitanya waktu itu. Belum lagi permasalah sosial, yaitu terjadi pertengkaran karena perebutan air tiap musim kemarau sampai dengan 2005. WSLIC kemudian beroperasi mulai 2006 dengan memanfaatkan sumber air Sumber Maron dengan memasang pipa-pipa transmisi, pipa distribusi dan pipa sambungan rumah. “Awalnya ya ada yang apriori,” cerita alumnus Universitas Widya Gama Malang ini. Kini, sumber air ini bisa mengairi rumah warga yang menjadi pelanggannya sebanyak 1.024 pelanggan yang tersebar di empat desa, yaitu Desa Sumbersuko, Kecamatan Pagelaran, dan tiga desa di Kecamatan Gondanglegi yaitu Sukosari, Gondanglegi Kulon dan Panggungrejo.
“Tapi kami perlu perhatian Pemkab Malang, terutama untuk pengembangan investasi untuk pemasangan pipa,” jelas pria asal Sampang, Madura ini. Pasalnya, untuk jaringan, butuh biaya besar. Untuk empat desa, sudah terpasang pipa distribusi sepanjang 15 Km. Dalam sebulan, pendapatan mencapai Rp 14 juta hingga Rp 15 juta dengan nilai tunggakan antara Rp 2,2 juta hingga Rp 3,6 juta/bulan. Selain sudah mengelola dengan baik, maka sistem administrasinya juga terkelola dengan rapi, termasuk memberi Askes WSLIC untuk pelanggannya dengan menambah Rp 500 /pelanggan saat membayar rekening air mereka.
“Sebab pelanggan kita untuk membayar ke Polindes juga tidak mampu. Dengan Askes WSLIC ini, mereka bisa berobat ke Polindes untuk penyakit ringan-ringan,” kata sarjana akuntansi ini. Dibanding tarif PDAM Kabupaten Malang, tarif air di sini juga murah, yaitu Rp 750 per meter kubik untuk dalam desa (Desa Sumbersuko sendiri) untuk tarif rumah tangga. Sedang untuk tarif sosial Rp 500 per meter kubik. “Namun untuk tarif luar desa, diperlakukan tarif progresif mulai Rp 850 per meter kubik,” katanya.
Proyek WSLIC di Kabupaten Malang merambah di 68 kecamatan. Sementara keberadaan HIPPAM (Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum) mencapai 200-an lembaga.
Dengan cara ini, biayanya juga lebih murah karena jika pompa memakai listrik PLN, tiap bulan, pengelola harus membayar Rp 8 juta. Pembuatan PLTMH diperkirakan mencapai Rp 300 juta hingga Rp 400 juta serta bisa menghasilkan daya 30-35 KVA.Dipilihnya PLTMH disi berawal dari KKN mahasiswa FT UMM di desa itu. Kemudian pada 2009 ada pertemuan antara FT dengan masyarakat. Selanjutnya dibuatkan studi kelayakan pada tahun itu. Kebetulan UMM sendiri sudah memiliki pengalaman membuat PLTMH dengan daya 100 KVA.
“Dari potensinya di sumber, sangat cocok untuk PLTMH,” ungkapnya. Budi Iswoyo, Kadis ESDM Kabupaten Malang menyatakan tidak sumber air memiliki karakter bisa dijadikan PLTMH. “Dari rencana 12 dusun yang ingin kita terangi listrik, kita juga masih belum tahu mana yang didirikan untuk PLTMH,” kata Budi.. sylvianita widyawati
Proyek WSLIC di Kabupaten Malang merambah di 68 kecamatan. Sementara keberadaan HIPPAM (Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum) mencapai 200-an lembaga.
Rencananya kini, Sumber Maron bakal berdiri PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjadi pendamping para proyek ini. “Sekarang sudah tahap DED sehingga nanti bisa digunakan untuk melampirkan proposal pada Bank Dunia oleh pengelola sumber air itu,” jelas Ir M Irfan, salah satu dosen teknik di Fakultas Teknik UMM.
Pengelola sumber air itu adalah Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi Sumber Maron yang diketuai oleh Sayyid Muhammad. Badan inilah yang mengelola sumber air tersebut. Tak hanya untuk wilayah Kecamatan Pagelaran, tapi juga hingga ke sebagian desa di Kecamatan Gondanglegi.
“Jika nanti PLTMH berdiri, maka listrik yang dihasilkan untuk pompa air buat mendistribusikan air kepada warga pelanggan,” jelas Irfan.Pengelola sumber air itu adalah Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi Sumber Maron yang diketuai oleh Sayyid Muhammad. Badan inilah yang mengelola sumber air tersebut. Tak hanya untuk wilayah Kecamatan Pagelaran, tapi juga hingga ke sebagian desa di Kecamatan Gondanglegi.
Dengan cara ini, biayanya juga lebih murah karena jika pompa memakai listrik PLN, tiap bulan, pengelola harus membayar Rp 8 juta. Pembuatan PLTMH diperkirakan mencapai Rp 300 juta hingga Rp 400 juta serta bisa menghasilkan daya 30-35 KVA.Dipilihnya PLTMH disi berawal dari KKN mahasiswa FT UMM di desa itu. Kemudian pada 2009 ada pertemuan antara FT dengan masyarakat. Selanjutnya dibuatkan studi kelayakan pada tahun itu. Kebetulan UMM sendiri sudah memiliki pengalaman membuat PLTMH dengan daya 100 KVA.
“Dari potensinya di sumber, sangat cocok untuk PLTMH,” ungkapnya. Budi Iswoyo, Kadis ESDM Kabupaten Malang menyatakan tidak sumber air memiliki karakter bisa dijadikan PLTMH. “Dari rencana 12 dusun yang ingin kita terangi listrik, kita juga masih belum tahu mana yang didirikan untuk PLTMH,” kata Budi.. sylvianita widyawati
Komentar
Posting Komentar