Kamar Eks PSK Disulap Jadi Ruang Budidaya Jamur Tiram


Ruang budidaya jamur tiram yang sebelumnya jadi tempat PSK
Setelah resmi ditutup oleh Pemkab Malang pada 25 November 2010 lalu, para mantan pemilik wisma di eks lokalisasi Buk Tape yang berada di RT 4/RW 1, Desa Ngadilangkung, Kecamatan Kepanjen berbenah diri

Eks lokalisasi ini ditutup setelah beroperasi 39 tahun yang lalu. Ada 25 rumah yang berusaha jamur tiram dari 30 rumah yang ada.

“Mereka bertanam jamur tiram sejak dua bulan lalu. Jadi, setelah ada penutupan lalu, mereka tidak memiliki kegiatan,” jelas Abdul Majid, Kades Ngadilangkung, Senin (3/10). Dari Dinas Sosial Kabupaten Malang, mereka mendapat bantuan per rumah 126 baglog/media tanam jamur tiram.

Sementara dari Bagian Kesra Setda Kabupaten Malang mendapat Rp 5 juta yang akhirnya per rumah mendapat Rp 200.000 untuk tambahan modal. Menurut Majid, warganya itu kini juga sudah pandai mencari peluang pasar untuk produk hasil jamur tiramnya, seperti dijual di pasar dekat pabrik rokok Tali Jagat, ada pedagang yang mengambil langsung ke lokasi dan bila ada kelebihan produksi, Majid mengaku juga menampungnya.

Dari warga ini, akhirnya terbentuk kelompok budi daya jamur tiram ‘Mekarsari’. Nama Buk Tape kini menjadi kampung Joko Lelono untuk menghilangkan citra buruknya sebagai tempat lokalisasi yang sempat kondang Joko Lelono sendiri adalah satu di antara empat orang yang membuka Desa Ngadilangkung selain Mbah Rekso Negoro, Mbah Temu dan Mbah Sumirah.

Makam almarhum Joko Lelono kini ada di sekitar Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen. Nama ini juga diabadikan sebagai nama masjid yang berada di jalan menuju eks lokalisasi. Sugiono (56), mantan pemilik wisma kini menjadi pemilik baglog jamur tiram terbanyak, yaitu 2000 unit. “Buat tombo (obat) stroke, mbak,” tandas Sugiono ketika disambangi di rumahnya.

Sebanyak enam kamar di rumahnya dijadikan tempat pertumbuhan jamur tiram yang telah ditata dalam rak bersusun tiga. Setiap hari, setidaknya ia bisa memanen jamur tiram sekitar 5-6 Kg. Ukuran kamar-kamarnya tidak terlalu besar yaitu ukuran 1,25 meter kali 1,5 meter. Di dalam kamar yang harus dijaga kelembabannya itu, ada rak bersusun dari kayu sengon sebagai tempat baglog. Istrinya, Ny Sugiono juga kebagian peran melakukan melakukan perawatan.

“Setidaknya saya harus menyemprot  air ke jamur itu sehari dua kali,” katanya. Untuk bisa tumbuh, jamur tiram perlu suhu dibawah 30 derajat celcius. Jika kulakan dari rumahnya, Sugiono menjual jamur tiramnya Rp 7.000 per kg. Namun oleh pedagang, sering jamur tiram itu dijual per dua ons-nya dan sudah dikemas plastik dengan harga dikisaran Rp 2.500.

Menurut Majid, sebelum warga lain bertanam jamur tiram, Sugiono termasuk yang memulainya dulu dengan memakai modal sendiri Rp 1 juta. “Pak Sugiono ini termasuk perintis menanam jamur tiram di sini,” ungkap Majid. Harga baglog per unit menurut Sugiono mencapai Rp 2.000 yang ia beli di Kecamatan Kalipare. Sejauh ini, ia merasa tidak ada kendala. Apalagi dari hasilnya lumayan sebab media tanam yang dimilikinya cukup banyak.

“Perawatannya mudah,” ungkap Sugiono. Terlebih saat ini animo masyarakat terhadap jamur tiram juga sangat tinggi. Selain diolah buat tumis, juga buat campuran untuk bakso, sate jamur, digoreng sebagai jamur krispi dll. Tapi bagi warga lain yang belum memiliki modal banyak, dari media tanam bantuan sebanyak 125 unit itu, tiap hari hanya bisa memanen sekitar 0,5 kg-1 kg.

“Belum bisa dijadikan untuk biaya hidup sehari-hari. Jadi masih perlu bantuan modal lain,” ujar Dwi Agus Jatmiko, warga lain. Namun ia juga tidak kekurangan akal, yaitu dengan mengambil hasil panen dari tetangganya dan dijual di pasar dekat pabrik rokok. “Ya, lumayan. Kita juga tidak ngomplek lagi,” ujarnya, Masalah kesamaan harga jamur tiram juga disamakan untuk menjaga kekompakan. Sehingga mereka sepakat menjual Rp 7.000 per kg. Sebab harga di pasaran juga sekitar angka itu.

Dwi sendiri selain berjual jamur, ia juga merintis usaha membuat sangkar burung dari bambu. Namun semuanya masih dikerjakan secara manual. Meski sudah mendapat hasil dari panenan, tapi mereka berharap tetap mendapatkan bimbingan karena lebih jauh soal jamur tiram. Sebab mereka tidak banyak yang tahu, seperti soal perawatan jamur karena termasuk pendatang baru.

“Misalkan ada jamur rusak/cepat kering, kita juga tidak tahu kenapa. Pelatihan-pelatihan itu diperlukan untuk meningkatkan kualitas dari jamur itu sendiri,” papar Dwi. Para eks pemilik wisma, selain bertanam jamur, juga membuka warung, menjadi kuli, menjadi tukang parkir dll untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dwi sempat memamerkan jamur tiram dari panenan miliknya yang diletakkan di salah satu kamar di rumahnya. Jamurnya nampak segar, besar dan banyak ‘dagingnya’. “Yang seperti ini biasanya bisa untuk sate jamur atau ayam,” terangnya. Rasa jamur tiram jika sudah diolah memang tak kalah dengan daging ayam. Ke depannya, Abdul Majid berharap ada peran dari SKPD terkait yang bisa membantu meningkatkan nilai jual produk jamur tiram sehingga tidak hanya sekedar menjadi bahan mentah, namun bisa untuk diolah menjadi keripik dll. sylvianita widyawati

NB: Saya pernah mendatangi lagi lokasi ini. Ternyata sudah tidak diteruskan lagi. Ada yang memutuskan jualan pracangan di rumah mereka.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini