Mencari Berita dengan Naik Angkutan Umum
Karena saya tidak berani naik motor sendiri di jalanan, saat mencari berita, saya hanya mengandalkan angkutan umum sampai 2024 ini. Kalau akhir-akhir ini lebih banyak naik angkutan online sejak ada di Malang. Memanfaatkan transportasi umum sudah saya lakukan sejak mulai magang di media saya. Kendala ini jadi peluang saya lebih mengenali jalur angkutan umum baik di Surabaya, Kota Malang dan Kabupaten Malang.
Di Surabaya, saat saya mulai magang kuliah hingga kerja, ada beragam jurusan angkot yang saya tumpangi. Kadang naik bus kota atau taksi kalau terpaksa. Mungkin lyn di Kota Surabaya dari A-Z lah. Lyn adalah sebutan untuk angkot di Surabaya waktu itu. Pengetahuan rute lyn diawali saat masa kuliah. Jika hari libur pada Sabtu, saya selalu diajak sahabat saya, Naning jalan-jalan naik motor Yamaha-nya. Alasannya buat hiburan.
Saat dibonceng, saya membawa peta Surabaya. Maklum, zaman dulu belum ada maps online. Tujuannya perjalanan pasti random. Dari hal itulah saya jadi tahu rute-rute lyn dan arahnya kemana. Pengetahuan itu sangat berguna saat bekerja. Karena saat bekerja, penugasan juga random. Jadi ketika harus kemana, saya langsung berpikir harus naik lyn apa disambung lyn lainnya. Di otak saya sudah ada peta lyn-lyn bemo, wkwk.
Bahkan di masa itu ke rumah artis pun, saya naik angkutan umum. Misalkan pernah janjian ke rumah Ria Enes di kawasan Deltasari, Kabupaten Sidoarjo, saya naik bison. Nanti turun depan perumahannya dan diteruskan naik becak. Pernah juga ke rumah Maia Estianti naik lyn. Kadang saya juga dibarengi teman-teman media lain, terutama yang dekat dengan saya. Biasanya ditunggu di kantor Surabaya Post atau janjian dimana. Kalau saya ingat, ya Allah, terharunya.
Terima kasih ya teman-teman. Bahkan mereka kadang sampai membawakan helm. Tapi pernah juga tidak pakai helm. Tapi biasanya untuk jarak pendek. Eh, tapi pernah juga jarak jauh. Misalkan dari Kepanjen, Kabupaten Malang sampai ke rumah di Sawojajar Malang, hahaha. Tentu saja dengan hati deg-deg. "Aman-aman, Mbak Syl," kata teman saya, Mas Agung yang waktu itu masih wartawan Malang Post. Agar aman, kita lewat jalan-jalan tikus.
Tapi pernah juga saya yang tidak pakai helm saat dibonceng teman saya, eh..kena cegatan. Saya sebagai wartawan ya malu. Sekali ditilang polisi di JL Veteran Malang di depan pos mitra UB. Gara-gara teman media lain ngajak saya bareng sampai Jl Veteran dari UIN Malang. Waktu itu saya menolak karena saya malu kalau kena tilang polisi. Apalagi saya wartawan. Wah, beneran kena tilang, wkwkkw. Teman saya bertanggung jawab ketika kena tilang.
Ya Allah..Sedih ya terharu karena dia merasa itu tanggungjawabnya karena mengajak saya naik motor tanpa helm. Ya begitulah lika liku bekerja mencari berita. Saya termasuk yang bertahan dengan kondisi seperti itu. Ketika awal masuk ke media, saya juga tidak pernah ditanya pihak kantor soal ketidakbisaan saya naik motor. Ada beberapa teman wanita/wartawan juga tidak memakai motor seperti saya.
Tapi dalam perkembangan kariernya, mereka ditugaskan di dalam kantor karena jadi editor. Sedang saya masih dengan SK sebagai reporter. Tapi saya memang suka di lapangan juga. Mski tanpa sepeda motor, saya bisa menyelesaikan tugas-tugasku. Sampai sekarang saya merasa dejavu jika berada di Surabaya. Melewati jalan-jalan Surabaya menjadikan saya mengenang kemana-mana saya pergi saat itu.
Padahal Surabaya luas sekali. Jika pekerjaan saya ini tak didasari passion besar, saya gak tahu lagi bagaimana bertahan. Jadi wartawan tak hanya menulis. Dasarnya adalah bagaimana mengembangkan informasi, mencari jalan, mencari ide, data, menemui narasumber hingga mengolahnya. Lalu mengembangkan jejaringnya. Ternyata saya bisa setahan ini.
Aktif Naik Ojol di Malang
Saya dipindah tugas ke Kota Malang pada 2004. Saat itu saya juga masih bertahan dengan naik angkot. Dua tahun awal tugas di Malang, saya floating. Rasanya apa ya? Tidak punya teman. Teman-teman lain sudah memiliki pos seperti di pemerintahan, olahraga, kepolisian dll. Pos-pos penting sudah ada yang menempati. Tapi bagi saya malah bisa jadi peluang eksplor bidang lain. Misalkan menggarap hiburan, ekonomi, fashion, profil-profil model dll.
Random pokoknya. Tapi ya lancar saja. Kadang saya juga tandem saya teman saya. Misalkan ketika ia tidak bisa ke acara undangan di kampus, saya diberi tugas. Misalkan pernah ada pengukuhan gubes di UB waktu itu. Dari mencari informasi random itu, jadi membuka satu per satu jalan. Misalkan kenal si A, akhirnya jadi kenal circlenya. Saya jadi tahu kelompok Tani Maju gara-gara melihat manggung di sebuah acara di Dieng Plaza waktu itu.
Akhirnya jadi kenal dan wawancara tentang band mereka di kampus Universitas Negeri Malang (UM). Bahkan pernah juga ketemu vokalisnya saat sama-sama naik angkot. Dalam perkembangan waktu, mulai masuk ojek online di Malang. Mungkin tahun 2016-an. Wah, senang sekali ada ojol. Tapi masa-masa berat ojol di Malang juga saya rasakan. Misalkan kalau naik mobil online tidak bisa sembarangan. Bahkan pernah ada demo menentang ojol oleh sopir angkot.
Rasanya bingung waktu itu. Sampai ada teman wartawan membantu dengan menunggu saya di kantor lama media saya di JL Sultan Agung Malang. Dari rumah ke kantor, saya minta tolong satpam perumahan memgantarkan ke kantor dan saya beri uang Rp 20.000. Begitu pula saat pulang. Ada yang ngedrop saya dan saya pernah naik becak dari Jl Trunojoyo ke Sawojajar membayar Rp 25.000. Yah gimana lagi. Angkot juga tidak beroperasi karena menentang ojol.
Dalam perkembangan kini, ojol sudah berjalan biasa. Ada pengaturan-pengaturan/regulasi. Jadi saya sekarang ke tujuan pasti naik ojol. Soal biaya, aduh..nggak usah dibahas, wkwkw. Dijalani saja. Karena jika tidak pakai ojol, prediksi waktu sulit. Kalau dulu saat masih ada banyak angkot, saya bisa perkirakan waktunya. Misalkan oper dua kali angkot di Malang bisa 30 menit kalau ke UB.
Itu belum jalan kali ke lokasi acara. Jadi harus prepare waktu minimal 1 jam. Kalau sekarang, saya ke satu tujuan bisa diprediksi waktunya dan presisi. Paling lama 30 menit seperti dari Sawojajar ke UMM kampus 3. Tapi pulang liputan, saya sebenarnya lebih suka naik angkot. Tapi jumlah angkot makin berkurang. Jadi menunggu dalam ketidakpastian. Akhirnya paling cepat ya naik ojol. Saking lamanya sebagai pengguna salah satu ojol, trafik saya lumayan tinggi. 3000 lebih.
Saya tahunya dari driver. "Ibu ini kerja apa? Kok banyak sekali naik ojol?" tanya driver pada saya beberapa hari lalu. Saya menjawab, saya jadi wartawan, Pak. "Saya perlu cepat ke lokasi," jawab saya dalam perjalanan pulang. Saya menjelaskan jadi pengguna salah satu ojol sejak aplikasi itu ada di Malang. Mungkin tahun 2016 atau 2017. "Haduh..saya saja jadi driver baru 2021, Bu. Saya kalah sama Ibu," jawabnya disambung tawa.
Akhirnya selama perjalanan jadi ngobrol dan saya sampai tujuan. Semua driver selalu saya beri bintang lima. Saya juga jarang membatalkan pesanan kecuaki dari driver atau permintaan driver. Kalau sudah dapat driver atas pesanan saya, selalu saya chat drivernya untuk memastikan bahwa ia menjemput saya. Paling lama menunggu 10 menit karena kondisi habis hujan. Sehingga sistem memilih random.
Saya seperti ini karena sering dapat keluhan driver dibatalkan konsumen padahal sudah dekat. Beda dengan saya. Kalau ada kepastian driver menjemput, saya menunggu tidak apa. Waktu menunggu bisa saya pakai melihat lalu lalang kendaraan, main HP atau lainnya. Sebenarnya dengan kondisi ini happy saja. Tapi pernah kaget juga ketika ada cerita seorang humas di PTS yang dekat dengan rekan kerja di media saya cerita bahwa saya senior tapi masih naik angkutan umum.
Maksudnya, teman kerja saya itu mendeskripsikan saya ke rekan humas PTS itu seperti itu. "Lo emangnya kenapa? Saya juga nggak merugikan dia (teman saya)," jawab saya ke humas itu. Korelasinya apa? (Dalam hati saya). "Saya juga gak nebeng teman saya saat bekerja. Saya juga membayar sendiri biaya ojol saya," jawab saya. Pernah juga saya ditanya humas PTS lain tentang bagaimana saya selalu naik ojol mencari berita.
Saya jawab baik saja. Saya juga kurang paham persperktif orang lain atas yang saya lakukan ini. Perbincangan itu terputus karena sesuatu hal. Saya ketika bertemu lagi juga tidak ditanya lagi. Saya hanya berpikir bagaimana sampai di tujuan cepat dan mendapatkan apa yang saya butuhkan. Kadang jika padat memang rute saya seperti benang ruwet jika di peta. Tapi jika sudah saya selesaikan, ya sudah. Tidak perlu membahas bagaimana saya mencapai itu. Dijalani saja. Sylvianita Widyawati
Komentar
Posting Komentar