Tujuh Anggota Pansus WO, Dua Raperda Batal Didok
Rapat paripurna intenal DPRD Kabupaten Malang memutuskan menunda dua raperda untuk didok pada Senin (13/2), yaitu raperda pelayanan pendidikan bagi fakir miskin dan raperda pelayanan kesehatan bagi fakir miskin. Namun dua raperda lainnya tetap didok dalam rapat paripurna ekternal yaitu raperda perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional dan penataan pusat pembenjaan dan toko modern serta raperda tentang pertambangan. Penggedokan dua raperda usulan eksekutif itu juga dihadiri Bupati Malang, Rendra Kresna dan forum pimpinan daerah lainnya serta kepala SKPD.
Namun karena tidak puas dengan penundaan itu bahkan sempat berkembang isu pencabutan dua raperda itu, sebanyak tujuh anggota pansus dari dua raperda itu memilih walkout (WO) dari sidang internal. Kebetulan ketujuh orang itu berasal dari Fraksi PDIP. “Tapi ini sikap kami pribadi, bukan merupakan sikap Fraksi PDIP,” ujar Budi Kriswiyanto. Mereka melakukan aksi WO dengan duduk-duduk di ruang Fraksi PDIP meski sebelumnya sempat mengikuti sidang paripurna internal. Ketujuh orang itu adalah Sugianto, Mulik Yuliati dan Yoyok Pandan Hariyanto yang merupakan anggota pansus raperda kesehatan.
Sedang empat orang lainnya merupakan anggota pansus raperda pendidikan yaitu Budi Kriswiyanto, Reni Purwiningtyas, Sumai dan Darmadi. “Kedua raperda sangat diperlukan oleh Kabupaten Malang dan kedua pelayanan di bidang itu belum optimal, terutama untuk fakir miskin. Padahal pembahasan raperda itu juga sudah selesai,” ungkap Budi. Ia menyatakan, selama pembahasan dua raperda itu, Tim Raperda dari Pemkab Malang juga tidak pernah berkata apa-apa sehingga pansus juga tetap berjalan. Diakui, memang sejak awal dari pihak eksekutif sudah kelihatan keberatan atas dua raperda usulan dewan itu.
Bahkan Bupati Malang, Rendra Kresna sudah sempat memberi ‘warning’ atas dua raperda itu agar dikaji lebih dalam lagi. Namun, lanjut Budi, Tim Raperda Pemkab Malang tidak pernah membahas soal keberatan itu. ”Harusnya ketika dicanangkan dalam prolegda (program legislasi daerah) mestinya sudah ditolak. Eksekutif memang setengah hati terhadap dua raperda ini,” tukas Budi. Sedang M Nor Muhlas, Ketua pansus raperda pelayanan pendidikan bagi fakir miskin tidak mempermasalahkan soal penundaan itu. Karena dua raperda itu membutuhkan data base yang valid tentang fakir miskin.
”Saya tidak mau berburuk sangkalah bahwa raperda ini nantinya akan dicabut. Berprasangka baik saja karena memang masih perlu ada pembenahan,” papar Muhlas. Ia juga tidak tahu kapan raperda itu nantinya didok. Bupati Malang, Rendra Kresna menyatakan dua raperda itu jika dianggarkan, nantinya juga tidak bisa dilaksanakan. Sebab ini menyangkut objek dan subyek yang sama yaitu fakir miskin tidak bisa dicover dengan dua anggaran atas objek dan subyek yang sama. ”Terus nanti memakai data orang miskin yang mana? Apa ada orang miskin di Kabupaten Malang yang tidak bisa sekolah? Begitu juga orang miskin yang sakit?” ujar bupati. Menurutnya, untuk kesehatan, warga miskin sudah ada jamkesmas, jamkesda. Jika tidak tercakup itu, masih bisa mengajukan Surat Pernyataan Miskin (SPM). Begitu juga untuk kegiatan pendidikan antara lain ada BOS. Menurutnya, kalau tidak didok, itu merupakan urusan dewan, apalagi itu merupakan raperda inisiatif. Sehingga ia memandang dua raperda itu seperti raperda yang sia-sia karena nanti tidak bisa dilaksanakan. Padahal untuk membuat sebuah raperda, setidaknya butuh anggaran Rp 300 juta karena harus melakukan banyak hal, termasuk kunker. Sedang Sugeng Pujianto, Ketua Fraksi PDIP menyatakan tetap mendukung dua raperda itu. Namun soal aksi tujuh anggota fraksinya, tetap dihormatinya sebagai kegiatan pribadi.
Dua raperda isiatif DPRD Kabupaten Malang yaitu raperda pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan untuk fakir miskin mengalami penundaan penggedokan tanpa batas waktu. Tujuannya untuk melengkapi data base-nya. Kelengkapan data itu dikeluarkan oleh Kementrian Sosial sehingga objeknya jelas. ”Sebab namanya bantuan kan datanya harus jelas,” ujar Hari Sasongko, Ketua DPRD Kabupaten Malang, Selasa (14/2). Menurutnya, masalah database sebenarnya sudah pernah dibahas di tingkat badan legislasi. Tapi kemudian terus dinaikkan untuk dibahas. ”Karena waktu itu dianggap masalah itu sedang ’in’,” kata Hari Sasongko.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Suaeb Hadi, Ketua Badan Legislasi DPRD Kabupaten Malang. Menurutnya, penundaan pengesahan itu karena memang perlu kajian yang lebih dalam dan komprehensif menyangkut tiga hal yaitu validasi data, verifikasi dan penetapan fakir miskin yang harus dilakukan oleh menteri. Di satu sisi, hingga saat ini masih belum ada program penanganan kemiskinan yang terarah dan terpadu serta berkelanjutan dari pemerintah, baik Pemprov Jatim maupun Kabupaten Malang. ”Selain itu, juga masalah kemampuan anggaran Pemkab Malang,” tutur Suaeb, politisi dari PDIP ini.
Karena masalah itulah, maka DPRD melalui Komisi B meminta melakukan kajian bersama dan melakukan evaluasi terhadap hasil kajian itu. Terpisah, M Hidayat, Kabag Humas Pemkab Malang menyatakan kedua raperda itu dinilai tidak efektif ketika memasuki masa penyelarasan ketika dibahas di tim. Sehingga, lanjutnya, eksekutif sebenarnya sudah punya itikat baik sehingga prolegda itu tidak ditolak sejak awal. Sebab menurutnya, masalah fakir miskin di bidang pendidikan sudah diatur dalam Permendiknas No 30/2010 sehingga warga miskin yang melanjutkan pendidikan tinggi sudah mendapat jaminan mendapatkan pendidikannya mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
”Sementara rencana raperda pelayanan pendidikan untuk fakir miskin itu untuk pendidikan dasar sembilan tahun. Perbedaannya dimana secara substansinya,” urai Hidayat. Sedang untuk pelayanan kesehatan, lanjutnay, dengan adanya UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang berlaku pada 2014 nanti, tak hanya melayani fakir miskin, namun semua warga. ”Kalau raperda pelayanan kesehatan untuk fakir miskin itu tetap disahkan, maka hanya berlaku selama satu saja,” kata Dayat, panggilan akrabnya. Ditambahkan Hari Sasongko, terkait masalah tujuh anggota pansus dua raperda itu yang memilih walkout (WO) para rapat paripurna internal karena tidak puas dengan penundaaan pengesahan itu, katanya sudah diselesaikan. ”Kami sudah ketemu dan sudah tidak perlu lagi dimintai keterangannya,” papar Hari Sasongko. vie
Komentar
Posting Komentar