Menjadi Wartawan (1)

Tadi pagi, Rabu (8/2/2017), saya menerima pesan lewat WA dari sebuah radio di Kota Malang. Isinya ajakan untuk menjadi narasumber di dialog tentang wartawan di media. Menarik sebenarnya karena saya di dunia itu. Sayangnya tawaran mepet waktunya. Karena biasanya seorang wartawan pada malam hari sudah memiliki rencana untuk esok harinya. Saya meminta maaf karena tidak bisa terlibat.

Mungkin dialog ini dikaitkan dengan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2017. Senang rasanya masih ada orang lain yang mengingat tentang sosok wartawan. Kalau akhirnya saya menggeluti profesi ini karena saya passion di menulis. Saya juga tidak bercita-cita jadi wartawan.  Saya ingin menjadi penulis dan bisa traveling. Itu saya katakan ke guru BK di SMAN 5 Kota Malang saat ditanya cita-cita. Waktu itu akan ada penjurusan. 

Saya memilih ke bahasa karena suka menulis dan bahasa. Namun saya juga tidak tahu apakah saya bisa mencapainya. Sejak SMA saya berani mengirim tulisan ke media cetak. Oh ya, di rumah, ayah saya langganan koran pagi dan sore. Jadi saya tahu media mana yang bisa saya masuki untuk pelajar.
Pernah teman sekolah saya wawancarai untuk prestasinya. Dia jago main tenis dan baru menang kejuaraan. Saya mendekatinya untuk menyampaikan maksud saya. Dia tidak keberatan. 

Bersama teman-teman Harian Surya saat di Kasembon Rafting

Karena tidak punya kamera, bekal foto dokumentasi dia saya minta. Saya berdoa agar dimuat di Surabaya Post waktu itu. Kalau tidak dimuat kan malu ya..Ternyata dimuat. Senengnya. Saya beritahu dia. 

Tak lama kemudian saya mendapat kiriman uang lewat wesel. Ya Allah senangnya. Padahal saya belajar menulis juga otodidak. Saya membaca media biasanya mengamati cara menulisnya.

Saat kuliah memang ada teorinya. Tapi cara paling gampang belajar menulis adalah mengamati dan rajin mempraktikkan. Saat kuliah, saya malah jarang menulis. Bersama teman-teman malah senang ke radio. Waktu itu di sebuah radio di Surabaya memang ada siaran dunia mahasiswa.
Saya kebagian yang memasok informasinya dari berbagai media. Sedang teman saya yang suaranya oke menjadi penyiarnya. Sayang, saat kuliah di jurusan yang saya tekuni, jurnalistik, saya malah sempat ragu.

Ragu apakah saya bisa menjadi wartawan? Saya tidak tahu cara mencapainya. Galau rasanya waktu itu. Padahal ayah saya mengizinkan kuliah di jurnalistik karena saya berhasil menyakinkan bahwa saya mampu. "Apa modalmu?" tanya ayah saya waktu itu saat berbincang di teras rumah di Surabaya.  Saya cuma bilang saya suka menulis. Menurut ayah saya saat itu, ia akan membiayai kuliah yang saya sukai asal di Surabaya.

Sebelumnya saya gagal di UMPTN. Saya mengambil di Unair jurusan komunikasi dan hubungan internasional. Ayah saya kemudian yang mencari informasi PTS dimana ada jurusan jurnalistik.
Baru saat mendaftar, saya sendiri yang datang. Waktu itu ayah saya bilang tempat kuliah saya itu adalah tempat banyak wartawan belajar. Saya percaya saja. Akhirnya saya kuliah.  Murni cuman jadi mahasiswa. Kuliah saya sore. Jadi kalau pagi, saya ambil les bahasa. Sampai rumah, saya istirahat dan belajar.

Sore sampai malam hari kuliah. Sampai suatu hari saya harus magang wajib di media cetak. Ada sembilan orang termasuk saya. Ceweknya hanya saya. Lama magangnya tiga bulan. Baru di tempat magang ini saya belajar jadi wartawan di Harian Surya. Saya floating alias tidak ada pos.
"Floating itu siap dibanting kemana-mana," kata redaktur kota waktu itu, Pak Priyo. Saya hanya bilang siap. Hari pertama magang, saya dapat tugas ke rolak Gunungsari. Ada penumpang perahu tambang hanyut di sungai karena tergelincir.

Sampai di lokasi, saya mendapati tempatnya sudah sepi. Di dekat TKP ada warkop. Saya tanya ke ibu penjualnya tentang kejadian itu sambil membeli es teh. Saya bilang jika saya dari Harian Surya. Ia membenarkan. Kejadiannya pagi hari dan saya datang sudah agak siang. Ia menyuruh saya menyeberang rolak itu dengan perahu tambang. "Rumah korbannya di sana," katanya. Saya pun kesana. Saya sudah mendapat nama korban juga rumahnya. Sampai di rumah korban, bingunglah saya. Keluarganya menangis semua. Padahal pesan redaktur saya waktu itu untuk mewawancarai keluarganya.

Saya memilih diam dulu sambil melihat sikon. Setelah agak tenang, kemudian saya menyatakan bahwa saya wartawan kepada seseorang di sekitar rumah itu. Saya kemudian dibawa ke ibu korban. Lo..ibu korban nangis lagi. Bingungnya. Saya harus nanya apa kalau nangis terus?
Kalau ada kejadian seperti ini memang harus berempati. Makanya harus sabar. Di teori kuliah nggak ada ini. Dari empati itu, saya malah dapat banyak cerita dari ibu korban. Akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas pertama ini.

Tapi saya sedih lagi. Karena ada pencarian korban, operasional perahu tambang dihentikan dulu. Saya harus balik lewat mana? Oleh warga, saya diminta lewat jalan tol. Nantinya bisa turun ke seberang sungai. Panas sekali saat itu. Saya berdoa tidak ada kenalan saya yang melihat saya saat jalan di pinggir jalan tol. Sylvianita widyawati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini