Menjahit Perca, Prok...Prok..Jadi Apa?
Sejak pandemi Covid lalu, saya mulai menyukai kain-kain perca. Awalnya dulu karena masih sulit mendapatkan masker. Masih ingat kan kala itu. Harga masker melejit dan untuk membelinya juga sempat sulit. Saya awalnya membuat masker dari kain di rumah yang tak terpakai dengan melihat di youtube. Saat itu banyak sekali tutorial membuat masker. Saya belajar dan hasil awalnya tidak memuaskan.
Akhirnya bisa agak baik hasil maskernya. Saya pilih kain karena biar bisa dicuci lagi dan dipakai lagi.
Hasil maskernya jadi banyak dengan berbagai motif. Di tas kerja biasanya saya bawa stok masker buat ganti. Tapi lama-lama tidak saya pakai setelah masker didapat dengan mudah. Apalagi kantor saya juga memberi kiriman masker dan vitamin C secara rutin. Akhirnya kain perca-perca yang saya beli di market place itu saya bikin lainnya.
Ada yang saya buat selimut, taplak dan lainnya. Semua pakai jahit tangan. Menurut saya, menjahit tangan itu seperti healing karena dikerjakan tanpa buru-buru. Saya akhirnya juga dibelikan mesin jahit manual oleh Paksu. Tapi dibanding menjahit mesin, saya suka menjahit tangan. Kayak asik gitu. Jahitan saya rapi gak kalah sama mesin karena sering berlatih meski di saat tertentu.
Karena sering pesan kain perca, pernah sellernya juga chat kesana kenapa suka memesan? Buat apa? Saya ceritakan soal hobi menjahit saya itu. Selama saya di Sidoarjo, stok perca saya sudah nyaris habis. Prok...prok jadi apa? Bisa mengganti taplak yang sudah lusuh, sarung bantal dll. Semua dari sambung menyambung kain itu.
Untuk benangnya sudah saya bawa dari Malang. Saya punya langganan toko di Malang. Kadang pas lewat, beli. Sehingga pas dibutuhkan, saya punya stok beberapa warna benang. Begitu juga jarum. Dari menjahit tangan juga pernah jadi daster rumah. Saya beli polanya di market place dan menirunya. Anak-anak kadang video call saya dari Malang menanyakan kegiatan saya. "Ibu lagi apa?" tanya si sulung atau si tengah. Saya menjawab, lagi menjahit. "Nggak bosen a?" tanyanya.
Saya jawab, nggak. Kalau bosen ya gak menjahit. Nanti pingin lagi ya menjahit. Di rumah Sidoarjo, peralatan dan kain perca saya masukkan ke dus bekas sepatu. Kalau ingin menjahit, tinggal membuka saja. Tapi pola perca saya ya yang sederhana. Bukan aplikasi model tertentu. Makin ukurannya tidak beraturan kainnya, saya malah suka kalau sudah jadi. Tidak tahu ini sebutannya apa. Cuma merangkai kain-kain itu. Dan sampahnya juga kecil-kecil karena nyaris saya pakai semua.
Beberapa hari lalu anak-anak menanyakan saya soal hadiah ultah saya pada Februari 2025. Saya jawab gak usah dibelikan tas atau lainnya. Belikan saja kain-kain perca sehingga saya akan selalu ada kegiatan menjahit. Rencana saya nanti, saya ingin kursus menjahit. Mungkin di Sidoarjo karena si bungsu magang sampai April 2025. Tapi saya masih mencari info-info di Malang dan Sidoarjo. Di Sidoarjo hanya tinggal sementara lima bulan sambil menunggu bocil. Basecamp saya tetap di Malang.
Pada Desember 2024 lalu, saya juga mengunjungi pameran perca sekaligus liputan. Wah senang banget dengan karya teman-teman komunitas. Pasti tangan mereka tak berhenti mengerjakan jika sudah memegang kain perca dengan konsep yang sudah direncanakan. Sylvianita Widyawati
Komentar
Posting Komentar