Bidan Desa dan Penyuluh KB Jadi Verifikator SPM


MALANG- Untuk meningkatkan kontrol agar tidak sembarangan bisa keluar SPM (surat pernyataan miskin), Pemkab Malang menambah verifikator di desa  selain dari perangkat desa, yaitu penyuluh lapangan KB (PLKB) dan bidan desa. Harapannya, jumlah pengajuan SPM tidak lagi banyak karena sudah ada 14 indikator dari BPS ketika seseorang dinyatakan miskin. Kebijakan ini dikeluarkan setelah Pemkab Malang menyatakan bahwa anggaran Jamkesda pada tahun ini sebanyak Rp 7,8 miliar sudah habis pada April 2012 lalu.  Dengan adanya pengetatan verifikasi, diharapkan  anggaran Jamkesda bisa dikendalikan.
Adapun  14 Indikator kemiskinan oleh BPS itu antara lain luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 M2 per orang, dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia, kayu berkualitas rendah, tembok tanpa plester, tidak ada listrik, bahan bakar memasak sehari-hari pakai kayu bakar/arang/minyak tanah dll. “Para camat juga sudah kami kirimi 14 indikator miskin itu. Sedang PLKB dan bidan desa bisa membantu memverifikasi  dengan memotret kondisi warga yang minta SPM. Misalkan kondisi rumah begini, nilainya berapa. Jika dari 14 indikator ini nilainya dibawah 32, maka bisa mendapatkan SPM. Kalau diatas 32, maka tidak boleh memakai SPM,” tutur Abdul Malik, Sekda Kabupaten Malang, Senin (18/6/2012).
 Namun yang menentukan nilainya nanti dari hasil verifikasi di lapangan adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Malang. Diharapkan, dengan pengetatan sistem ini, maka jumlah hutang Pemkab Malang untuk membayar klaim Jamkesda juga tidak makin banyak. Katanya, soal klaim Jamkesda mencapai Rp 24 miliar itu mulai 2010 hingga asumsi hingga Desember 2012. Hal itu jika SPM tidak bisa ditekan lagi, maka anggaran yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 24 miliar. Sehingga seperti RSUD Kanjuruhan Kepanjen masih menalanginya.  “Mungkin kalau diberlakukan mulai Juli, nilainya bisa berkurang. Asumsinya ya ada efisiennya jika mekanismenya diperketat,” papar Malik.
 Yang jelas, lanjutnya, pada prinsipnya, Pemkab Malang harus tetap melayani kebutuhan warga miskin baik Jamkesmas, Jamkesda dan Jampersal sambil membenahi mekanismenya.  Sedang soal penarifan untuk pasien miskin di RSUD Kanjuruhan Kepanjen sebagai rumah sakit rujukan, kata Malik, sudah diputuskan memakai yang non perda sesuai dengan petunjuk dari Menteri Kesehatan.  Selama ini, RSUD Kanjuruhan sebagai rumah sakit rujukan memakai penarifan pasien miskin dengan perda.  Menurut Malik, klaim Jamkesda memakai sistem yang dipakai dalam klaim Jamkesmas yaitu INA CBG’s (Indonesia Case Base Grups), dimana penyakitnya sudah digrupkan.
 “Misalkan sakit batuk, obatnya ya sudah jelas. Kalau pakai tarif perda, misalkan sakit batuk, periksa lab ini itu hanya untuk mengetahui bahwa memang sakit batuk, ” jelasnya.  Harapannya dengan memakai  model klaim Jamkesmas, maka klaim Jamkesda juga berkurang. Untuk itu, Pemkab Malang sudah meminta kepada RSUD Kanjuruhan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang untuk membuat edaran pemberlakuan tarif untuk masyarakat miskin seperti dipakai dalam Jamkesmas. Menurut Abdul Malik, jumlah SPM karena tidak bisa dikendalikan saat ini sudah mencapai 14.000-an atau membeludak di luar kuota Jamkesda mencapai 11.262 dimana sudah jelas nama dan alamat penerimanya.  Kuota 11.262 itulah yang berhak menerima  Jamkesda sebesar Rp 7,8 miliar yang asal anggarannya berasal dari Pemprov  Jatim sebanyak Rp 3,8 miliar dan Rp 3,8 miliar dari Pemkab Malang. “Kami ingin, anggaran Jamkesda memang benar-benar diperuntukkan bagi warga miskin yang membutuhkan,” pungkasnya. vie   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini