Perempuan Jadi Korban, Hukum Memihak Lelaki

MALANG-Opini hukum mengenai putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan menjadi bahasan dalam sarasehan tentang anak yang antara lain menghadirkan pembicara Achmad Sodiki, Hakim Konstitusi di MK di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang (Unisma), 19 Mei 2012 lalu.  Menurut Sodiki, ketika MK memutuskan itu, pihaknya juga sudah memikirkan soal hukum dan keadilan. Apalagi jika sudah dibuktikan dengan DNA, sebuah cara modern yang harus diterima oleh pengadilan. “Namun untuk selanjutnya, hak keperdataan anak di luar nikah dengan ayah dan keluarga ayahnya masih perlu pengaturan lebih rinci. Dan itu menjadi tugas legislatif dan bukan tugasnya MK,” tutur Achmad Sodiki. 
Meski keputusan MK itu menimbulkan kontroversi, ujar Sodiki,  di masyarakat sendiri tidak bisa memberikan solusi. Yang ada malah terjadi pelecehan terhadap status anak. Sedang dari sudut hukum, juga dipersulit karena untuk memperoleh surat-surat. Padahal surat administrasi kependudukan seperti akte kelahiran sangat dibutuhkan bagi si anak seperti untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini karena masih adanya pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.” Sehingga MK melihat, hukum lebih memihak kepada laki-laki yang bebas melakukan perzinahan dan kemudian lahir seorang anak.
Dan kemudian laki-laki itu bebas dari tanggungjawab perdata. Dan jadilah perempuan tidak mendapat keberpihakan dari hukum karena harus menanggung segala akibatnya. “Sebab tidak ada anak yang dilahirkan hanya dari seorang ibu, namun  merupakan akibat dari perbuatan berdua (laki-laki dan perempuan),” tutur mantan rektor ini. Namun ironisnya, ketika terjadi banyak perempuan lainnya yang kemudian hamil di luar pernikahan yang sah, kemudian memilih menggugurkan kandungannya, membuang orok dll karena laki-laki tidak bertanggungjawab, yang justru masuk bui adalah perempuan. “Yang dihamili kok malah masuk ke penjara. Ironisnya lagi, ada pasal gila di KUH Perdata,” cetusnya.
Ia menyebut pasal gila itu pada pasal 287 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Menyelidiki soal siapakah bapak seorang anak adalah terlarang. Kemudian 283 KUHPerdata menyebutkan “Sekalipun anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang, sekali kali tidak boleh diakui, kecuali terakhir  apa yang ditentukan dalam pasal 273, yakni telah diakui presiden. Menurutnya, bentuk hubungan perdata untuk anak di luar pernikahan bisa berupa ganti rugi, pemenuhan kewajiban tertentu, santunan, perhatian hingga biaya hidup. Namun pengaturan lebih lanjut soal hak perdata harus ada pengaturan rinci yang harus dilaksanakan oleh legislatif, pungkasnya. Sylvianita widyawati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini