Belajar Diet Kantung Plastik
Pencanangan uji coba diet kantong plastik di Kota Malang dilakukan pada 21 Februari 2016 lalu. Saat itu mulai diberlakukan kantung berbayar di toko-toko modern. Harganya Rp 200 per lembar. Meski harganya murah, dengan membayar, saya jadi sedikit perhitungan.
Padahal uang recehan juga ada.
Jadi sekarang jika sedang membayar di kasir, selalu ada pertanyaan apakah saya membawa kantung sendiri atau membayar Rp 200 per lembar kantung plastik.
"Ibu bawa kantong sendiri?" tanya kasir ke saya. "Iya, saya bawa," jawab saya. Rasanya senang tidak bayar Rp 200.
Tapi jika tidak sedang membawa kantung, aduh..sayang uang saya, he,,,he. Karena itu, di tas kerja saya selalu saya selipkan tas plastik yang masih bagus.
Jika sewaktu-waktu mampir ke toko untuk belanja, saya bisa berhemat Rp 200. Tapi pernah juga saya merasakan diri saya pelit. Waktu itu saya belanja bulanan. Saya tidak membawa kantung plastik sama sekali. Saya kemudian ditawari kasir memakai kardus karena gratis. Saya bilang ok. Setelah itu, saya bingung juga membawanya.
Apalagi tempat parkir taksi ternyata agak jauh. Anak-anak saya sampai bilang, duh..repot juga ya nggak pakai kantung plastik. Namun jika ke pasar tradisional masih agak bebas. Mereka masih menyediakan. Namun kemarin saya beli bumbu jadi. Saya minta ke ibu penjualnya untuk tidak diberi kantong plastik.
"Masukkan di kantung ini saja, Bu. Daripada kebanyakan bawaan," kata saya. Ibu itu langsung setuju. "Iyo, Mbak. bener. Saiki kan jarene diet plastik. Tas kresek ngene angel nguraine," tutur ibu itu. Iya Bu, jawab saya. Saya jadi ingat kunjungan ke hutan bakau di Pantai Wonorejo Surabaya beberapa waktu lalu. Berhektar-hektar hutan bakau menjadi daratan sampah plastik.
Tapi masih sulit tidak memakai kantung plastik sama sekali. Saya masih memakai untuk berbagai keperluan. Paling jelek, saya manfaatkan buat kantong sampah. Lepas dari dampaknya, memang kemasan kantong plastik masih paling fleksibel. (sylvianita widyawati)
Kampanye diet kantung plastik di Alun-alun Malang |
Jadi sekarang jika sedang membayar di kasir, selalu ada pertanyaan apakah saya membawa kantung sendiri atau membayar Rp 200 per lembar kantung plastik.
"Ibu bawa kantong sendiri?" tanya kasir ke saya. "Iya, saya bawa," jawab saya. Rasanya senang tidak bayar Rp 200.
Tapi jika tidak sedang membawa kantung, aduh..sayang uang saya, he,,,he. Karena itu, di tas kerja saya selalu saya selipkan tas plastik yang masih bagus.
Jika sewaktu-waktu mampir ke toko untuk belanja, saya bisa berhemat Rp 200. Tapi pernah juga saya merasakan diri saya pelit. Waktu itu saya belanja bulanan. Saya tidak membawa kantung plastik sama sekali. Saya kemudian ditawari kasir memakai kardus karena gratis. Saya bilang ok. Setelah itu, saya bingung juga membawanya.
Apalagi tempat parkir taksi ternyata agak jauh. Anak-anak saya sampai bilang, duh..repot juga ya nggak pakai kantung plastik. Namun jika ke pasar tradisional masih agak bebas. Mereka masih menyediakan. Namun kemarin saya beli bumbu jadi. Saya minta ke ibu penjualnya untuk tidak diberi kantong plastik.
"Masukkan di kantung ini saja, Bu. Daripada kebanyakan bawaan," kata saya. Ibu itu langsung setuju. "Iyo, Mbak. bener. Saiki kan jarene diet plastik. Tas kresek ngene angel nguraine," tutur ibu itu. Iya Bu, jawab saya. Saya jadi ingat kunjungan ke hutan bakau di Pantai Wonorejo Surabaya beberapa waktu lalu. Berhektar-hektar hutan bakau menjadi daratan sampah plastik.
Tapi masih sulit tidak memakai kantung plastik sama sekali. Saya masih memakai untuk berbagai keperluan. Paling jelek, saya manfaatkan buat kantong sampah. Lepas dari dampaknya, memang kemasan kantong plastik masih paling fleksibel. (sylvianita widyawati)
Komentar
Posting Komentar