Ovik Ingin Advokasi Penyandang Tuna Rungu
Saya tertarik mewawancarai mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya (UB) ketika ada informasi mengenainya. Awalnya saya tidak tahu namanya. Karena hnya disebutkan dia sebagai Miss Tuna Rungu Indonesia. Saya kemudian ingat Joko, mahasiswa Pertanian. Dia relawan di PSLD UB.
Saya kemudian meminta bantuan agar ia mencarikan nomer HP-nya. "Namanya Ovik, Mbak," jelas Joko dalam percakapan lewat WA. Setelah mendapatkan no HP-nya, saya janjian bertemu. Saya juga berusaha mencari data dulu mengenai dia. Wajahnya manis dan cerdas.
Terima kasih sudah dibantu oleh Rafida, asisten dosen Psikologi. Mbak Rafida ternyata pernah membantu saya menjadi penterjemah ketika saya mewawancara Laura. Ia mahasiswa Indonesia yang kuliah di Hongkong. Ia membuat kamus untuk tuna rungu. Berita ini sudah dimuat di Harian Surya dan versi online. Sekarang saya share di blog saya, Semoga berkenan.
Oktaviany Wulansari |
Oktaviany Wulansari (23) tertarik mengadvokasi teman-temannya yang tuna rungu. Keinginan itu ada sejak ia menginjak usia dewasa. Sehingga ia memilih kuliah di program studi (prodi) Psikologi FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang. Saat ini, ia duduk di semester 6.
"Saya ingin membantu teman-teman tuna rungu," kata gadis berparas manis kelahiran Solo kepada SURYAMALANG.COM, Senin (7/3/2016) di kampusnya.
"Saya ingin membantu teman-teman tuna rungu," kata gadis berparas manis kelahiran Solo kepada SURYAMALANG.COM, Senin (7/3/2016) di kampusnya.
Selama percakapan dengan Ovik, ada relawan
Rafida Riahta, asisten dosen Psikologi yang membantu menerjemahkan pembicaraan.
Dengan bahasa isyarat, gadis berhijab ini menceritakan pernah membantu korban asusila penyandang tuna rungu di beberapa daerah.
Komunikasi dengan korban kemudian disampaikan ke polisi. Sebab korban biasanya takut berkomunikasi langsung.
Namun tugasnya kadang juga ada kendala. Misalkan korban ketika mengungkapkan kurang bisa mengekspresikan.
Sehingga terjadi kendala bahasa. Namun rata-rata mereka percaya ke Ovik karena sama-sama penyandang tuna rungu. Beberapa undangan yang dijalani seperti kejadian di Solo, Jember dan Jombang.
Menurut gadis kelahiran Solo, 19 Oktober 1992, penyandang tuna rungu menjadi korban karena kurang tahu/polos. Bisa juga karena kurang pengawasan orangtua. Dikisahkan, lanjutnya, ia pernah menangani korban di Jember. Namun korban tidak tahu pelakunya. Kemungkinan pelakunya sudah kabur.
Dijelas Ovik, tentang kerapnya ia dipilih sebagai komunikator korban-polisi, karena LBH disabilitas sudah mengetahui kemampuannya. Duta Favorit FISIP UB pada 2014 ini menyatakan menyukai tugas yang dijalankan membantu penyandang tuna rungu yang sedang ada masalah.
"Saya senang. Tantangannya adalah meski bahasa isyarat sama, namun kemampuan mengekspresifkan tidak sama," tutur anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bambang Sumpeno-Heni Widianti ini. Kemampuan mengekspresikan sesuatu tidak sama pada korban biasanya karena orang tua terlambat penanganan. Bisa juga karena anak atau orangtua tertutup sehingga kurang sosialisasi.
"Jadi kurang bisa mengekspresikan," jelasnya. Tentang kuliahnya di Psikologi, kata Ovik, cocok. "Alhamdulllah cocok. Memang ada kesulitan beberapa materi. Sehingga harus mengejar ketertinggalan," tutur alumnus SMA Luar Biasa di Solo ini. Saat kuliah, kata dia, PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas) Universitas Brawijaya menyediakan relawan. Sehingga membantu menguasai materi kuliah.
"Kadang dibantu teman-teman. Mereka akhirnya tahu bahasa isyarat karena kenal sejak semester 1," ungkapnya. Namun kadang ada yang khawatir salah "menerjemahkan". Ovik mengaku kini fokus kuliah dan organisasi di kampus serta ikut komunitas. Sylvianita widyawati
Dengan bahasa isyarat, gadis berhijab ini menceritakan pernah membantu korban asusila penyandang tuna rungu di beberapa daerah.
Komunikasi dengan korban kemudian disampaikan ke polisi. Sebab korban biasanya takut berkomunikasi langsung.
Namun tugasnya kadang juga ada kendala. Misalkan korban ketika mengungkapkan kurang bisa mengekspresikan.
Sehingga terjadi kendala bahasa. Namun rata-rata mereka percaya ke Ovik karena sama-sama penyandang tuna rungu. Beberapa undangan yang dijalani seperti kejadian di Solo, Jember dan Jombang.
Menurut gadis kelahiran Solo, 19 Oktober 1992, penyandang tuna rungu menjadi korban karena kurang tahu/polos. Bisa juga karena kurang pengawasan orangtua. Dikisahkan, lanjutnya, ia pernah menangani korban di Jember. Namun korban tidak tahu pelakunya. Kemungkinan pelakunya sudah kabur.
Dijelas Ovik, tentang kerapnya ia dipilih sebagai komunikator korban-polisi, karena LBH disabilitas sudah mengetahui kemampuannya. Duta Favorit FISIP UB pada 2014 ini menyatakan menyukai tugas yang dijalankan membantu penyandang tuna rungu yang sedang ada masalah.
"Saya senang. Tantangannya adalah meski bahasa isyarat sama, namun kemampuan mengekspresifkan tidak sama," tutur anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bambang Sumpeno-Heni Widianti ini. Kemampuan mengekspresikan sesuatu tidak sama pada korban biasanya karena orang tua terlambat penanganan. Bisa juga karena anak atau orangtua tertutup sehingga kurang sosialisasi.
"Jadi kurang bisa mengekspresikan," jelasnya. Tentang kuliahnya di Psikologi, kata Ovik, cocok. "Alhamdulllah cocok. Memang ada kesulitan beberapa materi. Sehingga harus mengejar ketertinggalan," tutur alumnus SMA Luar Biasa di Solo ini. Saat kuliah, kata dia, PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas) Universitas Brawijaya menyediakan relawan. Sehingga membantu menguasai materi kuliah.
"Kadang dibantu teman-teman. Mereka akhirnya tahu bahasa isyarat karena kenal sejak semester 1," ungkapnya. Namun kadang ada yang khawatir salah "menerjemahkan". Ovik mengaku kini fokus kuliah dan organisasi di kampus serta ikut komunitas. Sylvianita widyawati
Komentar
Posting Komentar