Laura Membuat Kamus Isyarat Sesuai Linguistik

Saya berkenalan dengan Laura Lesmana Wijaya (26) di sebuah acara seminar di Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Saat itu ia jadi pembicara "Hear Our Sign". Ia adalah  mahasiswa tuna rungu  yang telah menyelesaikan kamus bahasa isyarat. Gadis ini sedang kuliah S1 Linguistik di Chinese University Hongkong. Kamus tersebut berisi bahasa isyarat untuk Jakarta dan Jogjakarta.

Laura Lesmana Wijaya saat di UMM 
"Saya membuat kamus itu karena belum ada yang membuat sesuai linguistik," tutur Laura kepada SURYA usai acara pada Minggu (7/2/2016). Selama wawancara, panitia menyiapkan Fida sebagai penerjemah untuk memudahkan komunikasi dengan Laura,

Kamus itu terdiri dari tiga level. Tiap level ada 350 kata. Pembuatan kamus itu merupakan kerjasama beberapa pihak. Meliputi Centre Sign Linguistics and Deaf Studies (CSLDS) Dept Linguistics and Modern Lang, Faculty of Arts CUHK (Chinese University Hongkong), Gerkatin (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) dan Laboratorium Riset Bahasa Isyarat Universitas Indonesia.

"Timnya ada lima orang. Tiga orang tuna rungu dan dua orang hearing (mendengar) dari UI," jelas dia. Pilihan membuat bahasa isyarat di dua daerah karena di Indonesia ternyata bahasa isyaratnya beragam.

"Yang terdeteksi masih ada tujuh," kata Laura yang mengaku sudah punya pacar ini. Ia menyebutkan antara lain bahasa isyarat ala Jakarta, Jogjakarta, Bali atau disebut Kolok dan Pare-Pare.

"Di Malang sendiri saya belum tahu bahasa isyarat bagaimana," tutur gadis kelahiran 17 November 1990. Ia memberikan contoh gerakan/bahasa isyarat yang menunjukkan kelas 1,2 dan tiga. Jarinya ditempelkan di lengannya.

Ketika ditanyakan arti itu ke pria tuna rungu Jogja yang duduk di dekatnya, ia menjawab tidak tahu. "Nah, beda, kan?" katanya. MenurutLaura, kamus bahasa isyarat di dua daerah sudah diedarkan. Ia mengharapkan kamus itu membantu komunikasi di antara mereka dengan orang lain atau sebaliknya.

Beragamnya bahasa isyarat di Indonesia, ketika saling bertemu, menurut Laura, antara penyandang berusaha keras mengerti artinya. Ia mencontohkan mimiknya tanda bingung/tidak tahu. "Tapi beda itu indah," ujar gadis kelahiran Jakarta ini. Ditanya mengenai perbedaan kamus bahasa isyarat buatan dia dan timnya dikatakan berbeda dengan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia).
Laura Lesmana Wijaya

Ia mencuplikkan contoh kata menganggur pada buku tulisnya. Kata meng dipenggal dan anggur. Anggur kemudian diisyaratkan buah anggur. Sehingga artinya menurut dia malah beda. Sebab anggur adalah buah. "Padahal menganggur kan orang yang tidak punya kegiatan," jawabnya.

Bagaimana jika ingin ada bahasa isyarat daerah lain? "Kalau ingin membuat kamus bahasa isyarat daerah lain harus melakukan penelitian lagi dan kerjasama dengan UI. Sebab kami sudah punya pengalaman melakukan riset," tutur Laura yang terlahir dari keluarga tuna rungu.

Menurut mahasiswa semester 4 ini, bahasa isyarat di dunia ada 136. Itu tidak termasuk Indonesia karena beragamnya daerah. Bahasa verbal di Indonesia kata Laura mencapai 706 lebih. "Semoga nanti bisa dibuat semua bahasa isyaratnya," harapnya. Di dunia, ada 7102 bahasa verbal.

Dalam seminar itu, Laura menyampaikan agar guru mengajar bahasa isyarat dalam tata bahasa yang benar. Hal itu mempengaruhi kemampuan siswa dalam menulis. Selain itu, guru jangan suka bilang "Bodoh..kamu," ke siswa
Bisa jadi guru juga sama bodohnya karena tidak bisa mengajari bahasa isyarat/tidak paham. Di rumah, lanjut Laura, anak tuna rungu akhirnya menyalahkan dirinya dan tidak bisa mengembangkan diri.

Tak ada salahnya guru mengevaluasi metode yang tepat untuk murid. Kata gadis berkacamata ini, struktur Bahasa Indonesia sulit. Apalagi kemudian dijadikan bahasa isyarat. Sehingga butuh ekspresi yang cocok. "Untuk tuna rungu, harus visual. Sebab mempengaruhi apa yang dilakukannya," kata Laura dalam seminar itu. Soal kurikulum yang kerap diganti juga disorotinya. Menurut dia yang penting adalah bagaimana memperbaiki bahasa isyarat/teknik oral.

Laura menjelaskan ia pernah di SLB di Jakarta. Tapi ketika SD kelas 2 pindah ke sekolah reguler sampai kelas 1 SMA. Ia menyukai sekolah reguler karena pelajarannya cepat walau ada kendala komunikasi. "Banyak masalah. Melamun saja karena cuma baca-baca buku terus pulang," kisahnya.

Sampai di rumah masalah lagi karena keluarganya adalah tuli. Ayah ibunya tuli. Begitu juga kakaknya. "Namun kakak saya masih bisa sedikit mendengar. Sehingga bilingual," kata dia. Ia menjelaskan mencoba bertahan sembilan tahun di sekolah reguler. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan di Hongkong.

"Saya di Hongkong hanya belajar. Nanti saya kembali ke Indonesia karena saya cinta Indonesia," kata Laura sambil membuat lambang cinta dari dua tangannya. Senyumnya mengembang. Untuk bidang linguistik, ia bertekad akan fokus pada tata bahasa untuk kaum tuna rungu. Sylvianita widyawati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini