Prioritaskan BBM Subsidi Buat Nelayan dan Petani
Pertamina mengusulkan tambahan BBM bersubsidi untuk tahun depan menjadi 43 juta kiloliter. Namun semakin banyak pasokan BBM bersubsidi, yang menikmatinya justru masyarakat yang harusnya tidak mendapat subsidi. Padahal jika peredaran BBM subsidi makin banyak, maka hal tersebut semakin membebani anggaran negara. “Namun usulan dari Pertamina itu belum tentu diterima. Sebab kalau bisa pengguna pertama BBM subsidi adalah nelayan dan petani,” jelas Dr Hary Azhar Aziz MA, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI usai workshop wartawan di Klub Bunga Batu, Sabtu (5/10).
Namun kondisi di lapangan saat ini, karena hanya hanya bersifat himbauan untuk tidak memakai BBM bersubsi, maka para pemilik mobil pribadi lebih memilih membeli BBM bersubsidi yang harganya hanya Rp 4.500 per liter daripada membeli Pertamax yang harganya bisa dua kali lipat dari BBM bersubsidi. Menurut Hary, sebanyak 55 persen penyerap BBM bersubsidi ada di Pulau Jawa karena banyak kendaraan berada di Pulau Jawa. Sisanya baru terserap sebagaian kecil di pulau lain seperti di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
“Sebab orang kaya yang membeli mobil banyak di Pulau Jawa. Apa mereka juga masih perlu diberi subsidi?,” ujarnya. Dengan hal itu, ia menyatakan perlu lagi meredevisi tentang subsidi untuk orang kaya yang menjadi tanggung jawab pemerintah itu. Selain itu, rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi juga diminta dilakukan mulai Januari tahun depan. Namun kendalanya, hingga saat ini Kementrian ESDM juga belum mampu melaksanakan skedul pembatasan konsumsi BBM bersubsidi itu. Termasuk kelompok mana saja yang bisa menikmati BBM bersubsidi itu.
Katanya, jika terjadi pengurangan asupan BBM subsidi, setidaknya pemerintahan bisa berhemat pada anggaran belanjanya dan bisa dimasukkan dalam dana cadangan fiskal. Umar Hasan, Ketua Kelompok Nelayan di Pantai Sendangbiru, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang menyatakan bahwa bahwa BBM subsidi untuk nelayan adalah tepat sasaran daripada memberikan subsidi kepada orang kaya. “Sejauh ini, pasokan solar untuk nelayan juga selalu ada Pertamina,” kata Umar dihubungi terpisah. Nelayan membeli solar seharga Rp 4.300 per liter sebagaimana harga yang dijual untuk masyarakat umum.
Namun justru kendala pembelian ada di nelayan sendiri karena kondisi laut yang menjadi tempat kerja mereka tidak selalu siap. “Seperti sekarang, jatah solar dari Pertamina justru masih ada sisa karena tidak bisa ditebus oleh nelayan,” urainya. Pertamina menyiapkan solar untuk nelayan di Sendangbiru sekitar 30 tangki per bulan lewat KUD setempat. Satu tangki berisi 8.000 liter. Namun diperkirakan mulai Oktober sampai Februari 2012 nanti, karena sekarang sedang musim panca roba, nelayan tidak berani melaut. Selain masalah ombak, ternyata karena kondisi air laut yang keruh. “Air laut seperti air salju,keruh. Ikan ada, namun sudah susah didapat,” ceritanya. Katanya, yang berani melaut, maka akan tetap melaut dengan risiko tangkapan kurang. Yang memilih di darat, mengerjakan pekerjaan yang ada seperti bertani. “Nelayan baru melaut tiga bulan terakhir, tapi sekarang sudah paceklik lagi,” pungkasnya. vie.
Komentar
Posting Komentar