Investor Kabur, Pasar-Pasar BOT Merana
Nasib pasar-pasar tradisional yang menjadi bagian kerjasama BOT (Build Operate and Transfer) antara investor dengan Pemkab Malang merana. Sebab BOT sejak 1992 itu menyisakan problem tersendiri ketika terjadi sesuatu pada pasar-pasar itu. Pemkab Malang sendiri sudah tidak bisa melacak keberadaan investor pasar tersebut. “Investor nya sudah kabur,” ujar AR Rahman, Kepala Disperindag dan Pasar Kabupaten Malang, Rabu (14/3). Kaburnya investor juga dibenarkan oleh Bupati Malang, Rendra Kresna. “Lain kali, pembangunan pasar tradisional harus dibangun dengan APBD agar tidak merugikan pedagangnya,” tandas Rendra Kresna ditemui di Pringgitan.
Nantinya, setelah pembangunan Pasar Tumpang yang tahun ini dianggarkan Rp 5 miliar dari APBD, pihaknya ingin merehabilitasi pasar tradisional lainnya tanpa melibatkan investor. Hal itu agar masalah perawatan dan penanganannya bisa dilakukan semua oleh perintah. Sejumlah pasar yang di BOT-kan oleh Pemkab Malang seperti Pasar Pujon, Pasar Turen, Pasar Singosari, Pasar Kepanjen, Pasar Lawang dan Pasar Dampit. Kerjasama BOT itu selama 20 tahun dan selanjutnya akan dialihkan lagi ke Pemkab Malang sesudah kerjasama itu berakhir . Karena keberadaan pasar-pasar itu berada di atas lahan milik Pemkab Malang. Diadakan BOT sendiri pada waktu itu karena kemampuan anggaran pemerintah daerah yang terbatas untuk membangun pasar yang representatif.
Investor sendiri setelah membangun pasar itu kemudian menjual stan-stan yang ada kepada pedagang. Kondisi pasar-pasar itu kini sendiri memprihatinkan. Seperti di Pasar Kepanjen, meski dari tampak depan kelihatan bagus, tapi bagian dalamnya sudah kumuh. Begitu juga di Pasar Singosari, Lawang dll. “Kita sendiri untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan di pasar juga tidak memiliki anggaran,” kata Firdaus. Menurutnya, untuk 33 pasar Pemkab Malang hanya dikucuri Rp 148 juta/tahun sebagai anggaran perawatan. Dengan dana yang sedikit itu, maka hanya bisa dialokasikan untuk membayar tenaga kebersihan dan sekuriti. Sedang untuk perawatan lainnya, seperti perbaikan fisik jika ada kerusakan-kerusakan, Pemkab Malang tidak memiliki anggaran.
Sehingga akhirnya meminta bantuan kepada para pedagang sendiri secara swadaya/kemitraan. ‘Cacat’ lain dari BOT ini adalah lemahnya sistem keamanan di pasar terutama jika terjadi kebakaran. Nyaris semua hidran di pasar yang di BOT-kan tidak berfungsi. “Mungkin ketika itu kurang ada kontrol. Sehingga keberadaan hidran-hidran itu seperti aksesoris. Tidak tahu apakah tersambung dengan aliran pipa PDAM atau tidak,” ujar Rahman. Katanya, jika investor-investor pasar itu masih ada, mereka masih harus merawat keberadaan pasar-pasar itu hingga 2019. Tapi apa daya, menelusuri para investor juga sudah menjadi kesulitan tersendiri bagi Pemkab Malang.
Pemkab Malang sendiri hanya kebagian menarik retribusi pasar yang pertahunnya mencapai Rp 4,8 miliar. Firdaus mencontohkan hidran di Pasar Lawang meski masih bisa keluar, tapi debitnya kecil. Sedang di Pasar Singosari, hidran tidak berfungsi sama sekali. “Dulu di Pasar Singosari bisa karena memakai air dari Sumber Umbulan. Tapi karena bandara juga memakai, sekarang malah tidak bisa keluar. Di Pasar Kepanjen, seluruh hidran yang ada memang tidak berfungsi,” paparnya. Sehingga ia berencana akan meminta bantuan ke PDAM untuk menyalurkan airnya ke hidran-hidran di pasar tradisional. Karena tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban dari investor, Rendra Kresna meminta kepada Sekda Kabupaten Malang dan Disperindag dan Pasar Kabupaten Malang untuk memasukkan rencana pemulihan hidran, pengisian tabung kebakaran portable dalam APBD. “Kadang yang kecil-kecil begini, harus diingatkan pada tiap pembahasan APBD karena menyangkut keamanan di pasar tradisional,” kata Rendra. vie
Komentar
Posting Komentar