Pasien Jamkesda Ingin Wadul Bupati Malang


Sebanyak enam orang perwakilan pasien gagal ginjal yang berobat menggunakan Jamkesda  di RS Syaiful Anwar (RSSA) Malang mendatangi kantor Bupati Malang, Selasa (3/7). Namun keinginan bertemu Rendra Kresna, Bupati Malang tidak kesampaian karena bupati sedang mengikuti kegiatan di luar kantor.

Tujuan mereka datang untuk bertemu bupati karena mereka ingin ada solusi tercepat, terutama  untuk para pasien gagal ginjal yang selama ini berobat ke RSSA. Apalagi sejak Senin (2/7) Pemprov Jawa Timur dalam hal ini Dinas Kesehatan sudah meminta kepada Dinkes Kabupaten Malang untuk tidak menerbitkan Surat Keabsahan Peserta (SKP) Jamkesda dari Kabupaten Malang ke rumah sakit provinsi dan UPT Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Beberapa hari kemudian bisa bertemu Bupati Malang

Ikhwal penghentian pengobatan bagi peserta Jamkesda Kabupaten Malang karena anggaran yang terpakai sudah melebihi pagunya yaitu Rp 3,9 miliar.

Untuk yang di RSSA saja sudah minus Rp 8 miliar hingga data Juni ini. Tak heran, karena kondisi itu, pasien Jamkesda Kabupaten Malang berobat ke RSSA, mereka sudah ditolak.

Suryo Mulyono (38), pasien gagal ginjal asal Desa Kemantren, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang menyatakan perlu solusi cepat untuk pasien gagal ginjal.

“Yang datang ke sini (kantor bupati) kebetulan masa cuci darahnya Senin dan Kamis. Kasihan yang besok (Selasa) sudah ada jadwal cuci darah,” ujar Suryo. Mereka juga tidak tahu harus bertindak bagaimana lagi karena untuk melakukan cuci darah sendiri perlu biaya mahal.

Bahkan jika datang langsung mendadak ke rumah sakit swasta bisa dikenakan biaya Rp 1 juta. Mereka berharap, Pemkab Malang tetap memilikirkan nasib pemegang Jamkesda sehingga seperti pasien gagal ginjal bisa tetap berobat ke RSSA Malang. Di RSSA, jumlah mesin untuk cuci darah sebanyak 27 unit dengan empat shift.

Keluarga pasien gagal ginjal sempat mencari uang di jalanan
“Sebab di RSUD Kanjuruhan, jumlah mesin cuci darahnya terbatas dan sudah ada jadwal pasiennya,”  cetus Wiwin, keluarga pasien gagal ginjal bernama Subandi.

Katanya, ayahnya, Subandi, sudah sesak nafas mendengar penghentian pengobatan pasien Jamkesda. Ia juga tidak tahu harus bagaimana karena biaya cuci darah sangat besar.

Subandi sudah empat tahun menjalani cuci darah. “Mungkin Pemkab Malang mengusahakan dari dana taktis apa gitu agar pasien Jamkesda tetap bisa berobat,” tutur Hadi Purwanto dari Desa Jatiguwi, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang.

Hadi resah kelanjutan cuci darah anaknya, Ilham yang sudah berlangsung tiga tahun. Mereka sebenarnya tidak keberatan dimutasi pengobatannya ke RSUD Kanjuruhan Kepanjen. Tapi masalahnya, peralatan di RSUD sangat terbatas dan sudah diisi dengan jadwal pasien lainnya. Dr Harry Hartanto, Direktur RSUD Kanjuruhan Kepanjen nampaknya juga sudah  angkat tangan dengan limpahan pasien gagal ginjal RSSA ke RSUD. 

Alasannya memang karena peralatan mesin cuci darahnya hanya enam buah dan jumlah tenaga medisnya terbatas.”Kondisinya di RSUD memang seperti itu,” tuturnya.  Dengan enam alat itu, lanjutnya, maka hanya hanya bisa dioperasional untuk dua shift.  “Kalau dipaksakan sampai tiga shift ya bisa, tapi alatnya akan cepat rusak,” tutur dr Harry ketika dikonfirmasi terpisah. Menurutnya, untuk sekali cuci darah butuh waktu antara 4-5 jam.

Sehingga solusinya adalah pengadaan alat baru. Tapi ia juga tidak tahu apakah ada anggaran untuk itu. Sebab per unit mesin untuk cuci darah harganya Rp 500 juta.  Menurutnya, bisa saja pasien yang dari RSSA dialihkan ke rumah sakit swasta yang punya peralatan mesin cuci darah seperti di RS dr Soepraoen karena RSUD Kanjuruhan minim peralatan.  “Tapi saya juga nggak tahu anggarannya bagaimana,” tutur dr Harry.  Sylvianita Widyawati





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejabat Pemkab Malang Terlibat Pembunuhan Janda (1)

Ke Makam Troloyo Mojokerto

Meraup Untung Dari Si Mini